Menghargai Waktu
Aku duduk menyila di atas kasur utama bersama adik pertamaku sedangkan adik terakhirku duduk di kasur kedua di kamar yang sama. Keheningan memenuhi ruangan itu selama beberapa menit, mempersilakan otak untuk dapat berpikir maksimal dan cepat. “berapa ya?” adik pertamaku bersuara. “lima belas ribu aja!” si bungsu menyauti. “lo aja sono bikin sendiri! Kalo ngga sampe pegel leher, pegel punggung, ngerjain siang dan malam mata siwer lo jago deh!” adik pertamaku memang sering bicara dengan gaya sewot. “ini tuh bukan ngitung harga materialnya doang, tapi waktu yang udah kita habisin juga buat bikin ini.” Kataku. Lalu aku jadi berpikir, bisakah kita benar-benar memberi harga pada waktu? Berawal dari melihat iklan instagram yang menampilkan strap masker lucu warna-warni, aku meminta adik pertamaku untuk mengajariku cara membuatnya. Seingatku, ia masih punya stok manik-manik yang belum terpakai. Ia pernah rajin sekali membuat gelang dan cincin manik-manik sebelum akhirnya rasa malasnya meng...