Pengakuan

 

Dulu, kukira aku tidak akan pernah bisa berpisah denganmu. Tidak karena pekerjaan kita yang berbeda, tidak karena jarak kita yang terlalu jauh, tidak karena kita sering bertengkar perihal makanan, tidak juga karena aku seringkali bertingkah aneh ketika ‘red day’ku datang. Aku tidak pernah benar-benar berpikir bahwa kita bisa berpisah, kita bisa saling menyakiti, kita bisa saling meninggalkan, kita bisa saling melupakan. Segala hal itu tidak pernah ada sebelumnya dalam kepalaku. Yang aku tahu, aku dan kamu, kita akan selalu bersama dan kita adalah takdir maka kita memang akan bersatu. Jangankan untuk berpisah, bertengkar saja tidak pernah berlangsung lama. Lalu bagaimana mungkin aku berpikir kita akan berpisah?

Aku tidak pernah marah terlalu lama padamu. Paling lama hanya seharian, itu pun karena di hari ulang tahunku yang ke dua puluh dua kamu bersikap sangat aneh, mendiamkan aku yang sedang berbahagia meski ternyata sebelum aku masuk ke kamarku untuk tidur karena hari sudah malam kamu memberi kejutan saat aku membuka pintu kamar. Aku tidak pernah marah terlalu lama karena aku tidak pernah punya alasan untuk marah padamu.

“kamu maunya aku kayak gimana, Ra?”

Aku tahu kamu tidak mungkin tidak mengerti mauku. Kamu selalu tahu apa yang aku mau. termasuk yang satu ini, mengaku kalau dugaanku selama ini benar. Aku tahu ini akan menyakitkan tapi hanya itu yang aku inginkan saat ini. kamu tahu, Nan, perempuan selalu ingin perkiraannya benar 100%.

“ini sudah kelewat batas, Ra! Mau sampai kapan kamu cemburu kayak gini terus?”

“aku nggak cemburu, Nan! Aku..”

“marah?”

Iya, Nan, aku marah. Sangat marah hingga aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sedang marah. aku hanya bisa menangis. Hanan Fabyan yang aku cintai, aku tidak bisa marah padamu. Ini terlalu menyakitkan.

“kalau kamu cuma bisa nangis aku ngga akan ngerti. Aku mau pulang.”

“atau jalan sama perempuan itu?”

“Ra, udah deh! Aku capek dicemburuin terus kayak gini!”

“Aku bilang aku nggak cemburu.”

“Iya, aku jalan sama perempuan itu. Kita putus! Aku mau pulang.”

Ini sudah hari ketiga setelah pertengkaran kita di Kafe DonDon. Aku masih tidak percaya sampai saat ini. Akhirnya aku membuat rekor baru dalam hidupku, marah padamu lebih dari sehari, dan lebih dari itu juga ternyata kita sudah berpisah. Aku masih marah meski kamu sudah mengaku tapi aku merasa masih ada yang kurang dari pengakuanmu itu. Aku merasa malam itu kamu mengatakan hal itu, hal yang menyakitkan itu secara terpaksa karena ingin mengakhiri perdebatan kita. Aku sendiri tidak mengerti kenapa masih saja mempermasalahkannya meski kamu sudah mengaku bahwa kamu memang jalan dengan perempuan lain. Aku merasa ingin yang lebih. Aku ingin kamu jujur menceritakan semuanya. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah aku akan kuat bila mengetahui semuanya, semua hal yang tidak seharusnya kamu lakukan di belakangku. 

Kamu tahu, Nan, aku tidak pernah membayangkan sekalipun satu di antara kita berdua ada yang berselingkuh. Berpikir untuk berpisah saja tidak pernah. Mungkin karena aku terlalu mencintaimu, Nan. Itu kelemahanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja