Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

 

photo by Kelly Sikkema on unsplash.com

Sekian lama sendiri tanpa pasangan, aku selalu penasaran apakah nantinya aku bisa jatuh cinta lagi seperti waktu aku di usia belia? Apakah rasanya akan sama? Apakah kupu-kupu di dalam perut itu akan terasa lagi? Tapi aku gak pernah memikirkan bahwa bersamaan dengan jatuh hati pada seseorang, akan ada risiko kembali patah hati. Atau sebenarnya alam bawah sadarku telalu menyadari risiko itu hingga menyetirku menjadi seorang yang terlalu takut memulai suatu hubungan baru?

Setelah berhari-hari merasa gamang, kemudian lega karena mendapatkan sebuah ketegasan, hari ini aku mengakui kalau aku patah hati. Aku mencoba berpikir tentang apa yang kurasakan dan alasan mengapa aku bisa merasa sedih (padahal sebelumnya aku merasa lega). Mungkin aku memang harus mengakui kalau ini adalah patah hati.

Sebab patah hati, aku jadi ingin menangis. Sebab patah hati, aku jadi gak bergairah. Sebab patah hati, aku selalu menemukan celah untuk memikirkan alasan yang membuat aku patah hati. Tapi yang gak aku sangka sama sekali adalah patah hati tetap terasa sakit. Berapa pun usiaku, patah hati tetap patah hati dan itu menyakitkan. Berapa lama sebuah hubungan berjalan, atau bahkan belum berjalan sekali pun, patah hati rasanya sakit. 

Perbedaannya ada pada caraku merespon. Aku kebingungan dan merasa sedih, tapi aku tidak kalut. Aku tidak punya energi untuk menangis meraung-raung atau meratap berhari-hari memikirkan kesedihanku. Aku merasa sedih dan aku hanya perlu mengakuinya. Karena bagaimana pun aku memberikan reaksi, rasa itu tetap bernama ‘patah hati’. Semenyedihkan apa pun perasaanku, hariku tetap berganti dan patah hati tetap aku rasakan. Tapi semuanya akan berlalu. Aku akan menatap hari ini dengan lega karena aku sudah berhasil melaluinya. 

Patah hati adalah perasaan dan fase yang akan terlewati dan aku menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidupku.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja