Sebuah Bentuk Kesedihan
Beberapa hari belakangan ini aku hampir tidak pernah alpa menangis. Entah siang hari, setelah makan malam, atau sebelum tidur, bahkan di dalam mimpi aku menangis. Menangisi nasibku yang kurang mujur, menangis karena tidak tahu arah hidup, menangis karena merasa tidak berdaya, dan terkadang aku tidak punya alasan apa-apa, ingin menangis saja.
Kemarin penulis yang sudah lama kuikuti di twitter meninggal
dunia karena sakit. Jelas saja aku kaget karena belum lama ia masih
menyempatkan diri membuat pembaharuan di media sosialnya. Aku menuliskan pesan
bela sungkawa di unggahan terakhir twitternya, berterima kasih karena ia sudah
banyak berkaya semasa hidupnya dan mendoakan yang terbaik bagi jiwanya yang sekarang
beristirahat.
Lalu siang ini, aku menangis sembari melihat komentar di
unggahan Instagram miliknya. Begitu banyak yang mendoakannya, memberikan
semangat agar dia bisa melalui penyakitnya dengan hati yang kuat, serta tak
lupa pesan selamat jalan yang ditulis oleh orang-orang yang juga baru mampir
karena mengetahui kabar kepergiannya. Aku menangis karena banyak sekali yang
menyayangi orang ini, termasuk aku salah satunya.
Aku lupa kapan tepatnya aku mengikuti penulis ini di
twitter, tapi yang aku ingat sejak pertama kali membuka akun baru, aku langsung
mengikutinya karena tahu kalau dia adalah seorang penulis buku dan illustrator yang
gambarnya lucu-lucu. Sekian lama mengikutinya, menyimak tiap cuitannya yang
lewat beranda, aku baru bisa membaca bukunya tahun lalu dan merasa jatuh hati
dengan kejujuran serta setiap kenangan yang ia ceritakan. Buku ini, meski bukan
buku terfavoritku, punya tempat tersendiri di hati karena memuat cerita dan
puisi yang membangkitkan kenangan masa kecilku. Saat itu, aku berharap ia akan
meluncurkan buku lainnya atau sekadar berbagi sketsa pendek lagi di akun media
sosialnya. Ternyata Tuhan lebih menyayanginya dan menginginkan dia untuk segera
berada di sisi-Nya.
Aku selalu percaya bahwa kepergian seseorang, dalam bentuk
apa pun, pasti terasa menyakitkan. Teman yang berpisah karena tujuan hidup
masing-masing, kerabat yang merantau ke negeri lain, pasangan yang tidak bisa
berjalan bersama lagi, hingga perpisahan karena sebuah kiamat kecil bernama
kematian. Semuanya mengandung duka dengan kadar masing-masing yang tentunya
berbeda sesuai siapa dan sebagai apa orang itu di hidup kita.
Aku berusaha kembali mengingat kapan pertama kalinya aku bersedih
karena sebuah kematian. Aku pernah hampir menangis mendengar kabar nenek
tetangga depan rumah yang juga akrab denganku meninggal dunia. Tapi akhirnya
aku tidak menangis, aku diceritakan di jauh hari setelah kepergiannya karena
aku saat itu bersekolah di luar kota. Kemudian saat mengingat kematian, aku
teringat seseorang yang tidak mengenalku tapi aku menangisinya saat tahu kabar
kepergiannya.
Orang ini adalah seorang bintang di sekolah. Bukan, dia
bukan artis. Tapi ketampanan dan pembawaannya membuat dia tiba-tiba saja
populer, apalagi di kalangan siswi perempuan. Meski satu Yayasan, sekolah kami
terpisah antara perempuan dan laki-laki sehingga aku tidak pernah tahu yang
mana orangnya. Sampai pada suatu hari, aku tidak masuk sekolah karena kebagian
piket asrama bersama salah seorang teman. Hari itu ternyata menjadi hari
bersejarah karena pada akhirnya aku bertemu dengan laki-laki itu yang sama-sama
tidak masuk sekolah karena piket. Sejak saat itu juga aku mendeklarasikan diri
menjadi bagian dari perkumpulan penggemarnya.
Tiap kali punya kesempatan, aku pasti mencari tahu informasi
tentangnya lewat facebook yang saat itu sangat booming. Dan pada akhirnya dari
sana pula aku tahu berita duka itu. Aku yang saat itu sudah masuk SMA di
sekolah lain tentunya terkejut dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Sebenarnya
tidak benar-benar mendadak, karena dia sempat beberapa waktu mengunggah status
kalau dia sedang sakit hingga tidak bisa bersekolah. Aku tidak terlalu tahu
pasti sakit apa yang ia derita, aku selalu sebisa mungkin meninggalkan komentar
penyemangat sambil mendoakan kesembuhannya. Sebuah aksi berani yang hanya bisa
kulakukan lewat internet.
Ketika aku mengetahui semuanya – sebenarnya aku tidak
benar-benar yakin apakah benar sudah semuanya – tentang apa yang ia alami dalam
jangka waktu itu sampai akhirnya ia pergi, aku menangis. Aku tidak
mempertanyakan mengapa diriku begitu sedih karena kepergiannya, padahal kami
tidak berteman dan tidak benar-benar tahu satu sama lain. Yang aku ingat, saat
itu aku sedih sekali karena nasibnya yang kurang baik dan mencoba mencari
sesuatu untuk menjadi sasaran untuk disalahkan.
Aku menyalahkan kekasihnya – ya, aku tahu saat itu belum lama dia punya kekasih
– yang menurut unggahan status facebook tidak selalu bisa mengerti keadaannya,
aku menyalahkan kegiatan yang waktu itu menjadi awal dari timbulnya sakit yang ia
derita, aku menyalahkan malam-malam yang aku habiskan hanya untuk memantau statusnya
tanpa benar-benar menyampaikan kepedulianku yang tulus yang mungkin bisa
sedikit menghiburnya. Aku menyayangkan kepergiannya yang bahkan dia saja belum
genap berusia 17 saat itu.
Jika aku melihat kembali momen itu sekarang, dari tempat dan
waktu yang sudah sangat jauh, aku merasa kesedihanku saat itu lebih berbentuk
sebagai sebuah kemarahan yang tentunya lahir dari perasaan sukaku kepadanya. Padahal
kami tidak benar-benar terhubung, kami hanya kebetulan satu sekolah tapi tidak
pernah berteman bahkan tidak membuat kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Tapi
anehnya aku menangis karena aku merasa orang itu berarti di hidupku. Mungkin begitu
ya, tidak perlu bertalian darah atau akrab untuk merasa sedih karena kehilangan.
Cukup merasa orang itu punya arti tersendiri di hati untuk memantik perasaan duka
ketika orang itu pergi.
Mungkin kesedihan kali ini hampir mirip dengan kesedihanku
kehilangan laki-laki itu. Aku tidak pernah bertemu langsung dengan penulis ini,
pun tidak pernah berinteraksi saat dia membuat cuitan karena aku cenderung
lebih senang memperhatikan saja. Kali ini aku baru menyadari bahwa satu-satunya
interaksi justru saat aku meninggalkan balasan bela sungkawa, sungguh
disayangkan sekali. Tapi tangisanku bukan berarti tidak ada artinya sama
sekali. Mungkin karena aku melihat begitu banyak yang menulis komentar bela
sungkawa, menyadari begitu banyak yang menyayangi dan menghargai keberadaannya
semasa di dunia, begitu pula aku menyadari bahwa penulis ini juga memiliki
tempat tersendiri di hatiku yang seakan mengiayakan bahwa penulis ini memang
orang yang patut disayangi pada masa hidupnya, pun ketika kini yang tertinggal di
dunia hanya nama.
Aku berharap semoga kini jiwanya beristirahat dengan tenang
di sisi Tuhan. Aku yakin semua orang yang mengenalnya langsung ataupun
sepertiku, hanya pengikut yang diam-diam mengaguminya lewat media sosial, akan
mengenang segala kebaikan yang pernah dilakukan semasa hidup. Al-fatihah.
Komentar
Posting Komentar