Menghargai Waktu

Aku duduk menyila di atas kasur utama bersama adik pertamaku sedangkan adik terakhirku duduk di kasur kedua di kamar yang sama. Keheningan memenuhi ruangan itu selama beberapa menit, mempersilakan otak untuk dapat berpikir maksimal dan cepat.

“berapa ya?” adik pertamaku bersuara.

“lima belas ribu aja!” si bungsu menyauti.

“lo aja sono bikin sendiri! Kalo ngga sampe pegel leher, pegel punggung, ngerjain siang dan malam mata siwer lo jago deh!” adik pertamaku memang sering bicara dengan gaya sewot.

“ini tuh bukan ngitung harga materialnya doang, tapi waktu yang udah kita habisin juga buat bikin ini.” Kataku.

Lalu aku jadi berpikir, bisakah kita benar-benar memberi harga pada waktu?

Berawal dari melihat iklan instagram yang menampilkan strap masker lucu warna-warni, aku meminta adik pertamaku untuk mengajariku cara membuatnya. Seingatku, ia masih punya stok manik-manik yang belum terpakai. Ia pernah rajin sekali membuat gelang dan cincin manik-manik sebelum akhirnya rasa malasnya mengalahkan rajinnya. 

“gue pernah kepikiran buat strap masker gara-gara liat konten ChenJi, kan masih banyak tuh ya mute gue eh tapi mager banget padahal gampang dan waktu itu belum banyak yang jualan strap masker dari mute.” Curhatnya waktu pertama kali aku berbicara soal strap masker itu.

“yauda ayo bikin tapi ajarin aku caranya!”

Butuh waktu lebih dari tiga jam saat pertama kali aku membuatnya. Pertama, karena aku lama menentukan warna. Kedua, karena aku lama memahami cara pembuatannya terutama saat ingin memasukan benangnya lalu membuat sedikit bentuk seperti bunga atau pagar. Adikku saja sampai geregetan mengajariku. Mode galaknya sampai muncul dan jangan tanya apakah aku menangis saat ia membentakku karena jawabannya sudah pasti iya. Lalu saat kurasa sudah pas panjangnya ternyata benang itu kurang panjang. Jadilah strap masker pertamaku dibongkar ulang alias aku harus bikin dari awal lagi dengan benang yang lebih panjang tentunya. Tiga jam berhargaku yang terbuang begitu saja. Aku tidak merasa tiga jam itu sia-sia karena dari tiga jam itu ada yang aku pelajari dan pahami. Lalu aku membuatnya lagi dengan perasaan lebih semangat dari sebelumnya hingga larut malam. Sudah lama sekali rasanya tidak tidur selarut malam itu.

Keesokannya, mata kami, aku dan adik-adikku, berbinar melihat strap masker yang kami buat akhirnya sudah jadi. Kata mama “cakep itu!”, pujian yang kurasa memang tulus tidak dibuat-buat sama sekali. Lalu kami jadi ketagihan untuk membuatnya lagi, entah untuk apa. Dan dalam proses pembuatan strap masker lagi terpikirlah ide untuk menukarnya dengan uang. Semuanya terlihat layak untuk dijual.

“empat puluh ribu aja deh?” cetusku asal sambil memikirkan rasa sakit di leher dan punggung serta mata yang perih karena memang mata minusku sedikit tersiksa saat mengerjakan semuanya di malam hari.

“kemahalan ngga?” adik pertamaku bertanya balik.

Empat puluh ribu rupiah dikalikan empat pun masih terlalu murah untuk menukar tiga hari bermakna yang kami habiskan bersama. Aku tidak akan pernah tahu bahwa tiga hari itu bisa benar-benar menjadi hari yang menyenangkan dan sangat langka terjadi. Aku dan kedua adikku berkumpul di kamar untuk mengerjakan strap masker yang pada mulanya tidak untuk dijual. Iringan lagu senantiasa memenuhi kamar itu tanpa henti kecuali saat kami memikirkan harga seperti saat ini. Entah berapa topik yang telah kami bicarakan bersama sambil mengerjakan strap masker. Mulai dari membicarakan idol K-Pop kesukaan kami, mengomentari berita selebriti yang sedang hangat, tertawa bersama saat topik soal kucing kami yang bermuka kocak itu sedang dibicarakan, sampai berujung curhat soal masa-masa sekolah.

Aku cukup kaget saat adikku berani membawa topik sekolah yang menurutku sifatnya agak privasi dan sensitif karena bisa menghadirkan kembali kenangan tidak menyenangkan yang sudah susah payah kubuang dari memori ingatan dan sepertinya adikku juga agak berpikir sama soal hal itu. Namun malam itu akhirnya aku tahu, bahwa bukan diriku sendiri yang menderita saat sekolah. Bahwa bukan diriku sendiri yang merasa hidup ini sangat aneh, banyak ketidak adilan terjadi dan terlalu banyak drama yang tak diinginkan sama sekali kehadirannya tetapi malah muncul. Menempatkan diri sebagai si paling tua yang ingin dianggap baik dan perhatian tentu saja aku mendengarkan semua ceritanya, semua yang belum pernah aku dengar sama sekali dan tidak pernah aku berani tanyakan padanya. Lalu aku sadar betul, rasa iri yang kukandung selama ini terhadapnya dan sekarang sudah terlalu besar ternyata salah dan tentu saja aku harus mengecilkannya. 

Aku selalu beranggapan di rumahku ini tidak pernah ada manusia yang benar-benar mengerti perasaanku. Karena itu aku jarang sekali mengobrol panjang lebar dengan siapapun, pun pada adik-adikku. Aku sering merasa iri pada mereka yang terlihat seperti lebih memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, lebih beruntung dariku, lebih berani dan tegas dalam berbicara dan sepengelihatanku juga masalah mereka tidak jauh dari nilai yang naik turun. Namun, mendengar ceritanya tentang melewati masa sulit saat sekolah membuatku berubah pikiran. Bahwa kami adalah anak remaja yang sama, yang mencoba mengatasi semua masalah sendiri saja karena jika banyak campur tangan tentu akan membuat masalah itu tambah rumit. Belum lagi dihadapkan pada kedua orang tua yang belum tentu bisa mengerti masalah kita. Dulu, aku melihat adikku itu sangat menyebalkan karena ia selalu berkomentar “gue kalo jadi lo sih gue kabur terus ngamuk-ngamuk. Bodo amat deh gue pokoknya ngga mau di sana!” dengan gaya sewotnya yang khas, mengomel tentang diriku yang dulu selalu pasrah saat dimasukkan ke asrama. Bagiku, dia itu hanya ngomel-ngomel karena dia tidak mengerti sama sekali perasaanku. Jadi, tentu saja jika ia mulai bicara begitu aku hanya bisa bilang “gue ngga bisa gitu.” Atau tidak kutanggapi sama sekali.

Mendengar cerita tentang kesulitannya saat sekolah juga sedikit mematahkan banyak hayalan yang ku simpan di rak paling depan di kepalaku. Aku jadi enggan untuk kembali membuka rak itu. Biasanya jika sedang putus asa aku suka membuka rak itu, memunculkan kata ‘seandainya’ ke pikiranku dan yang paling sering muncul adalah ‘seandainya dulu aku sekolah di sini bukan di sana’.

Setelah ia selesai bercerita, aku jadi bergantian juga. Menceritakan hal yang hanya kupendam sendirian tentang kesulitan yang kulalui selama sekolah. Sepertinya mereka juga kaget mendengarnya, tidak menyangka mungkin anak setenang aku bisa menghadapi hal-hal menyedihkan begitu. Tentu saja ada bagian di mana mereka jadi marah-marah padaku saat aku menceritakan kepasrahanku menghadapi semua masalah itu. Lalu sesi curhat kami beruju tawa yang sulit berhenti. Aku merasa senang karena pada akhirnya kita bisa saling mendengarkan dan mungkin bisa lebih saling mengerti lagi kedepannya. Aku senang akhirnya aku merasa lebih dekat lagi dengan adik-adikku. Semua hal yang menyesakkan dada itu, yang terdampar membusuk di kepala itu, yang membuat kami sebenarnya bisa saja menangis jika mengingatnya bahkan sulit untuk menceritakan kembali kejadian yang kurang menyenangkan itu akhirnya membuat kami sedikit lega karena pada akhirnya kami bisa menertawai semuanya. Tertawa yang tentu saja membuat kami bisa berpikir bahwa kami ternyata kuat ya bisa menghadapi semua itu dan masih tetap hidup baik-baik saja sampai sekarang.

“kalo segitu ngga ada yang beli ntar udah kaget liat harganya.” Kata adik pertamaku.

“iya sih. Yauda yang paling bagus tiga lima deh. Itu paling mahal.”

Diskusi kami berakhir begitu saja. Aku merasa beruntung memiliki tiga hari berharga itu. Waktu yang tidak bisa kami beri harga sampai kapanpun. Aku merasa bersyukur telah menemukan iklan instagram itu. Selain muncul ide untuk mengais rejeki (meski pada saat aku mengetik ini satgas covid sudah mengeluarkan anjuran untuk tidak menggunakan strap masker lagi) membuat strap masker itu membuat hubungan kami semakin dekat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja