[CERPEN] Sarapan Untukku


Pernahkah kamu terbangun di pagi hari tetapi di saat itu pula kamu menggerutu, mengomel pada tubuhmu yang tidak pengertian karena bisa-bisanya kamu terbangun pagi ini padahal di pikiranmu kamu butuh lebih banyak waktu tidur? Ini memang belum akhir pekan, tapi ini sudah hari Jum’at. Sedikit terlambat sepertinya tidak apa-apa.

Aku meringkuk, memeluk selimut yang tidak berfungsi sebagai penghangat tubuh melainkan sebagai teman berpelukan yang tidak memelukku balik. Mencoba terpejam lagi tapi telingaku sudah aktif bekerja, mendengar tiap gelombang suara yang datang dari sekitar. Entah mengapa detik itu juga detak jarum jam terdengar menyebalkan di telinga. Aku ingin kembali terlelap barang sepuluh menit, apa tidak bisa?

Dengan malas aku terbangun dan duduk di kasur. Kata orang-orang, saat melamun kita cenderung tidak memikirkan apa-apa dan pikiran terasa melayang jauh entah ke mana. Tapi saat ini aku sedang melamun di atas kasur, menyadari bahwa pagi ini aku kehabisan bahan makanan di kulkas sebab aku tidak membelinya semalam karena sudah terlalu lelah, kemudian memikirkan apa yang enak dimakan pagi ini atau apakah sebaiknya aku menunda sarapan. Aku juga menyadari betapa Jum’at ini aku benar-benar tidak bersemangat. Dompetku sudah menipis, jumlah nol di rekeningku juga berkurang, dan aku belum punya rencana untuk menghabiskan akhir pekan.

Meskipun jarang melakukan kegiatan spesial di akhir pekan, aku sudah terbiasa merencanakan hari-hariku di hari sebelumnya. Bahkan menghabiskan weekend dengan tidur atau mencuci pakaian saja sudah sesuatu yang spesial karena aku sudah menjadwalkannya pada hari sebelumnya. Aku bukan tipe orang yang melakukan hal secara spontan, aku terbiasa merencanakan hal hingga ke bagian paling kecil dan tidak penting seperti makan siang. Sekarang aku tidak tahu harus sarapan apa, apa sebaiknya aku memikirkan makan siang saja?

Aku menghembuskan napas berat seolah-olah baru saja membebaskan naga yang bersemayam di dalam jiwaku. Pagi ini sudah berat untuk dilalui dan ini juga karena kesalahanku telah melewatkan hal kecil malam tadi. Aku lupa berbelanja bahan makanan karena sudah sangat lelah akibat mengambil lembur. Lupa itu manusiawi. Tapi kini terasa menyebalkan karena aku kebingungan memikirkan sarapanku.

Aku menerka-nerka makanan apa yang kiranya ingin aku makan pagi ini. Bubur? Lontong sayur? Roti lapis? Mie ayam? Salad? Gorengan? Aku membayangkan di kepala, diriku sedang menyantap makanan-makanan itu saat ini. Tidak ada yang membuat seleraku tergugah, atau mungkin karena aku terbiasa sarapan tanpa selera? Aku biasanya makan makanan sederhana untuk mengisi perut sebelum bekerja seperti selembar roti tawar dengan tomat potong, atau kue rangi yang aku beli di perempatan jalan. Aku pernah berkreasi membuat overnight oatmeal karena sedang viral, tetapi ternyata aku tidak terlalu menyukainya sehingga sisa oat yang belum terpakai kusulap saja menjadi minuman layaknya minuman sereal siap santap. Itu agak menghemat pengeluaranku tetapi aku berjanji tidak ingin melakukannya lagi.

Setengah jam berlalu dan aku masih terduduk di atas kasur dengan pikiranku tentang sarapan. Hal yang aku benci dari tidak bersiap-siap dan merencanakan sesuatu adalah aku merasa seperti kambing lepas dan tersesat tanpa arah. Aku menghabiskan waktu terlalu lama hanya untuk memikirkan sarapanku. Mungkin kebanyakan orang akan langsung pergi saja berjalan-jalan pagi lalu membeli apa pun yang ditemukan di sepanjang jalan, dengan begitu masalah sarapan ini terselesaikan. Namun aku tidak ingin uangku ditukar dengan sarapan yang sebenarnya tidak ingin aku makan. Aku ingin merasa ikhlas menyantap sesuatu.

Aku teringat kopi kalengan di dalam tas kerjaku. Semalam seseorang memberikan kopi kaleng ini sebelum ia pulang dan membiarkanku melanjutkan pekerjaan di kantor. Orang ini sangat perhatian. Bukan hanya aku yang mengakuinya, semua teman-teman satu divisiku juga berkata demikian. Tapi aku tidak merasa ada sesuatu yang spesial, atau mungkin belum. Yang jelas, aku mengingat kopi itu belum aku minum dan masih ada di dalam tasku.

Apa aku minum kopi itu saja pagi ini? Apa tidak apa-apa minum kopi dengan perut kosong yang belum aku isi sejak semalam? Aku tidak punya sakit lambung sebelumnya, tapi apa ini bukan sebuah masalah bagi orang yang sehat minum kopi saat perut kosong?

Aku menggeser posisi duduk, meletakkan kakiku dipinggir kasur yang berada di dalam kamar kos 3x5 meter persegi dengan harapan sedikit ide akan masuk ke kepala saat tubuh ini terlihat hendak bersiap-siap melakukan sesuatu. Aku melihat jemari kakiku yang menggantung belum menyentuh lantai. Jari-jari kecil ini bentuknya lebih gempal dari kebanyakan rekan kerjaku. Jangan tanya mengapa dan bagaimana aku memperhatikan bentuk jari mereka.

Seketika aku rindu Ibu yang suka menyuruhku sarapan sebelum berangkat sekolah. Aku mengakui bahwa Ibuku salah satu orang paling berpengaruh dalam hidupku. Aku kagum dengan Ibu yang selalu tahu apa yang harus dihidangkan di atas meja makan setiap harinya. Tidak peduli sesering apa makanan itu disajikan, aku pasti bisa memakannya tanpa merasa bosan. Ibu selalu tahu apa yang harus aku santap saat sarapan, ia juga tahu apa yang enak dimakan saat aku pulang sekolah ataupun apa yang enak aku makan sebelum pergi ke kamar dan belajar di malam hari.

Aku meraih ponselku yang ada di nakas sebelah ranjang. Mungkin kalau aku menelpon Ibu aku jadi tahu harus sarapan dengan apa. Terdengar suara sambungan telepon.

Tuuuut…

Tuuuut…

Tuuuut…

Telepon tersambung tetapi belum juga diangkat. Aku mengingat-ingat apa yang biasa Ibu lakukan di jam segini. Menyapu lantai, mengelap meja dan bufet, menyuruh Bapak sarapan, memberi makan ayam tetangga yang masuk ke pekarangan, menghentak-hentak nyiru sambil mencari kutu beras, mengobrol dengan tukang sayur yang lewat di depan rumah. Tanpa sadar aku malah menyebutkan urutan kegiatan Ibu sehari-hari.

Aku mencoba kembali melakukan panggilan tetapi masih belum ada jawaban juga. Sambil mengarahkan ponsel dalam genggaman ke telinga, aku merebahkan tubuhku kembali di atas kasur. Mataku terpejam, telingaku menikmati suara sambungan telepon yang masih terdengar di sana. Aku membayangkan Ibu dengan semangat menyuruhku makan bubur atau pisang goreng yang biasa ia buatkan juga untuk Bapak. 

Ibu, ayo angkat! Aku ingin sarapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja