[BOOK REVIEW] Turtles All The Way Down: Menemukan Diri Sendiri dalam Pikiran yang Riuh Dan Tak Berujung


Turtles All The Way Down karya John Green

Sedikit cerita, aku mendapatkan buku ini dari acara ‘Blind Date Book’ tahun lalu. Aku belum pernah mendengar judul novel ini, aku cuma tahu bahwa penulisnya adalah orang yang sama yang menulis The Fault In Our Stars. Salah satu keuntungan dari tidak mengetahui apa pun sebelumnya adalah aku tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap buku ini.

Turtles All The Way Down, apakah bukunya tentang kura-kura?

Aku merasa sedikit tertipu lantaran setelah membaca blurb yang ada di sampul belakang, aku mengira novel ini adalah novel misteri. Ternyata novel ini mengajak pembaca untuk melihat kehidupan lewat kacamata sang tokoh utama bernama Aza.

Diceritakan bahwa Aza adalah anak SMA yang memiliki kecemasan berlebih sehingga membuat pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu, dalam hal ini Aza selalu memikirkan tentang bakteri, mikrobioma yang hidup dalam tubuhnya dan dapat membahayakan kehidupannya. Ia selalu takut suatu saat bakteri-bakteri itu bisa menyebabkan C.diff dan dia akan mati. Kekhawatirannya ini sudah sampai pada level dia harus selalu mencuci tangan dan mengganti plester di tangannya, ia merasa selalu berkeringat padahal tidak, dan bahkan ia beranggapan hidupnya tidak nyata.

Kecemasan berlebih yang Aza miliki ini juga berdampak pada caranya menjalani hidup; bagaimana dia berhubungan dengan sahabatnya Daisy, dengan ibunya sendiri, serta pengaruh pada kehidupan asmaranya.

Selama membaca novel ini, aku dipaksa bersabar mengetahui apa isi kepala Aza setiap harinya karena aku atau bahkan Aza sekalipun tidak tahu kapan pikiran-pikirannya tentang bakteri dan C.diff akan muncul dan akan berhenti. Aku tidak masalah harus bersabar menyelami plotnya karena aku berharap akan menemukan hint yang bisa mengantarkanku menemui jawaban dari teka-teki hilangnya seorang konglomerat problematik yang membuat gempar satu wilayah.

Lalu apa aku menemukan si konglomerat itu?

Jawabannya adalah ya. Selain itu, aku juga menemukan hal yang menyadarkanku bahwa hubungan antarmanusia itu memang rumit meski sekuat tenaga kita membuatnya terasa mudah. Karena seperti kata Aza, “Tidak ada orang yang bisa memahami orang lain,” (hlm. 289). Kita bisa bersimpati dan berempati kepada orang lain tetapi kita tidak bisa benar-benar memahami orang itu karena kita bukanlah orang itu. Jadi, menghindari kesalahpahaman terhadap orang lain sangat mungkin dilakukan tetapi sulit untuk dihindari karena manusia punya pikiran masing-masing.

Dalam buku ini kita bisa melihat persahabatan Aza dan Daisy yang erat karena sudah terjalin sejak mereka masih kecil tetapi di antara mereka berdua tidak ada yang benar-benar bisa saling mengerti. Mereka hanya saling menjaga agar persahabatan mereka tetap bisa berjalan. Aza punya pikiran sendiri bahwa selama ini ia cukup baik kepada Daisy begitupun sebalikya. Di satu sisi Daisy punya pemikiran lain, bahwa selama ini ia mencoba menyeimbangi Aza tetapi ia pernah berada di titi k ia lelah menghadapi Aza dan pikirannya yang selalu tentang dirinya.

“…hidupmu adalah cerita yang diceritakan orang tentangmu, bukan cerita yang kau sampaikan sendiri.” (hlm. 5)

Segigih apa pun kita berusaha menjelaskan siapa dan bagaimana kita sebenarnya, orang lain selalu punya penilaiannya sendiri tentang kita dan begitu juga sebaliknya. Kira-kira begitulah hidup Aza yang mencoba menjelaskan betapa rumit dirinya yang selalu merasa tersesat dalam spiral pikirannya.

Selain persahabatan, hal lain yang menjadi highlight dalam novel ini adalah hubungan antara orang tua dan anak; tentang bagaimana seorang anak memandang orang tua mereka dan tentang bagaimana rasanya kehilangan orang tua ketika mereka bahkan belum benar-benar kehilangan. Tema kehilangan memang mengambil bagian besar dalam novel ini, tapi yang sangat menusuk hatiku adalah tentang kehilangan orang tua.

Seorang konglomerat yang menghilang dan membuatku penasaran itu adalah seorang ayah dari dua bersaudara: Davis dan Noah. Meski tak banyak dijabarkan, tapi hubungan keluarga konglomerat ini membuat hatiku sedikit meringis.

“salah satu ciri orangtua adalah mereka tidak dibayar untuk menyayangimu.” (hlm. 175)

Turtles All The Way Down adalah salah satu novel kehidupan remaja yang filosofis dan bukan sekadar novel petualangan remaja biasa. Novel ini mengantarkan Aza untuk menemukan dirinya sendiri yang menurut pandangannya adalah serpihan dalam spiral pikirannya, juga mengantarkan pembaca untuk menemukan makna tentang kehidupan antarmanusia.

Meskipun terasa lamban, aku cukup menikmati alur cerita novel ini. Susunan kalimat dalam cerita sangat terasa sebagai ‘terjemahan’ dan ada beberapa bagian cerita yang tidak aku mengerti karena kalimatnya terlalu rumit untuk dipahami, tapi aku tidak terlalu kecewa karena pada akhirnya aku masih bisa mengambil kesimpulan dari buku ini. Mungkin sedikit disayangkan di bagian puisi dan jurnal-jurnal Davis, aku berharap susunan katanya bisa lebih sederhana karena aku suka tokoh Davis yang suka sama keindahan kata-kata. Aku ingin menikmati keindahan kata-kata yang Davis deskripsikan dalam tulisannya atau dari caranya berbicara.


Informasi Buku

Judul: Turtles All The Way Down
Penulis: John Green
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Genre: Fiksi, Young Adult
Penerbit: Penerbit Qanita
Tebal: 344 halaman
Tahun Terbit: 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja