[CERPEN] Cita-Cita

gambar dari unsplash.com

Kapan pertama kalinya kamu punya impian atau cita-cita? Apa kamu ingat kenapa kamu memimpikannya dan menjadikannya sebuah tujuan yang ingin kamu capai?

Bu Ani adalah wali kelasku di kelas 4 SD. Dia baik dan cukup perhatian pada kami semua tanpa terkecuali. Di antara semua guru yang mengajar di kelas 4, Bu Ani adalah guru favoritku. Kata orang-orang, guru adalah orang tua kita di sekolah. Aku setuju, bahkan kalau boleh aku mau Bu Ani tidak hanya jadi orang tuaku di sekolah saja.

Hari rabu adalah hari kesukaanku, alasannya adalah karena ada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sebenarnya setiap hari di kelas 4 SD adalah kesukaanku karena aku bisa bertemu Bu Ani. Rabu minggu lalu Bu Ani memberikan penjelasan tentang cita-cita dan kenapa setiap orang harus punya cita-cita.

Aku tidak pernah punya cita-cita, atau pikiran untuk memiliki apa yang disebut cita-cita. Aku melihat Ayahku yang bekerja sebagai satpam karena itu yang dia inginkan. Aku melihat ibuku yang berhenti bekerja di rumah potong karena itu yang dia inginkan. Aku tidak pernah benar-benar bertanya mengapa mereka menjadi satpam atau tukang potong daging. Apa itu yang mereka impikan sejak kecil? Atau sejak kapan mereka memilih untuk menjadi satpam dan tukang potong daging?

Bu Ani meminta semua anak untuk memikirkan apa cita-cita kami dan menuliskannya di buku tulis dalam beberapa paragraf. Bagian inilah yang aku sukai dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Aku bisa menulis banyak-banyak tentang apa saja yang muncul di kepalaku ketika mendengar sesuatu, membayangkan sesuatu, atau bahkan karena memang Bu Ani menyuruhku menulis saja. Aku selalu punya kata-kata dalam kepala yang siap meluncur ke atas buku tulis dan menjadi rangkaian kalimat panjang. Bu Ani bilang ia selalu suka membaca tulisanku karena aku selalu menulis panjang. Itu semua karena aku tidak pandai bicara, tapi otakku penuh dan rasanya aku mau muntah kalau kepalaku terus terisi.

Aku memikirkan tentang cita-cita selama beberapa hari. Aku mau jadi apa? Aku bisa jadi apa? Aku merasa aku masih kecil untuk membayangkan diriku sendiri menjadi seorang perempuan dewasa. Ketika aku bertambah dewasa aku ingin jadi apa? Aku sempat kepikiran menjadi Tante Maya yang sering pergi ke luar negeri dan membawa oleh-oleh cokelat. Aku mau jadi seperti dirinya tapi aku tidak tahu apa yang ia lakukan di luar negeri selain membeli cokelat. Aku suka cokelat tetapi tidak bisa seperti dia karena aku tidak mau sakit gigi seumur hidup.

Aku juga kepikiran ingin jadi Om Jaya yang setiap hari pergi bekerja naik mobil. Aku tidak tahu apa yang ia kerjakan dengan naik mobil keren miliknya itu, tapi aku senang sekali naik mobilnya. Suatu hari Om Jaya mengajakku untuk menemaninya berbelanja keperluan bulanannya. Aku tertidur nyenyak dalam perjalanan pergi dan pulang. Tante Maya pernah bilang, jika kucing bisa tidur dengan tenang dan dalam jangka waktu lama di sebuah tempat baru dan di dekat orang yang baru dia kenal maka itu artinya kucing itu nyaman dan menyukai tempatnya, ia merasa aman berada di sana. Aku tidur di mobil Om Jaya padahal itu pertama kalinya aku naik mobil keren itu, aku juga belum lama mengenal Om Jaya karena dia baru tinggal di rumah seberang rumahku selama tiga bulan tetapi aku bisa tidur di dekatnya. Itu semua artinya aku suka berada di dalam mobil Om Jaya.

“Bu, pekerjaan apa yang setiap hari naik mobil keren?”

“Bos ayah setiap pergi ke luar naik mobil.” Ayahku yang muncul dari pintu masuk tiba-tiba menjawab padahal aku bertanya pada Ibu.

“Berarti aku harus jadi bos biar bisa naik mobil keren. Memang Om Jaya itu bos juga ya?” pikiranku melambung pada mobil kerennya yang nyaman, dingin, wangi permen mint seperti permen yang biasa Ibu makan setiap kali kami pergi naik metromini, dan tentunya bisa membuatku tidur nyenyak.

Setelah diajak pergi dengan Om Jaya waktu itu, aku sempat merengek ingin menginap di mobilnya. Aku memohon-mohon pada Ibu agar mengizinkan aku meski hanya semalam. Om Jaya orang yang baik, aku yakin dia juga mengizinkan aku jika di hari sabtu dan minggu mobilnya tidak digunakan. Tapi Ibu bukan ibu-ibu dalam sinetron yang akan membujuk anaknya yang menangis merengek. Bukan juga Bu Ani yang akan berkata lembut saat ada yang bertengkar dan menangis di kelas. Jadi, kamu sudah tahu apa yang dilakukan Ibu atas permintaanku itu: dia melarangku dan aku dilimpahkan kewajiban untuk tidur siang di hari Sabtu dan Minggu.

Terkadang aku tidak mengerti kenapa ibu-ibu selalu terobsesi dengan ide tidur siang bagi anak-anak mereka. Mungkin ini baik bagi bayi, tapi aku sudah bukan bayi. Aku anak kelas 4 SD bahkan teman sekelasku sudah ada yang saling naksir lawan jenis. Apa kami masih disebut anak-anak saat sudah memiliki perasaan yang lucu seperti itu? Tapi aku belum naksir siapa-siapa, aku sedang sibuk mengerjakan tugas Bu Ani tentang cita-cita.

“Kalo mau naik mobil terus kamu harus jadi pejabat.” Ibu menjawab pertanyaanku sambil mengaduk-aduk jengkol balado yang sedang ia masak dalam kuali. Itu makanan kesukaan Ayah.

“Pejabat itu apa?”

“Pejabat itu orang yang bekerja di pemerintahan misalnya Presiden, Menteri, sama karyawannya.” Ayah membantu menjelaskan. Ia mencomot sepotong tahu goreng di atas meja dan berlalu meninggalkan dapur.

Aku berpikir sejenak. Apa aku bisa menjadi pemerintah? Aku tidak bisa membayangkan wajahku ada di mana-mana karena aku tidak suka melihat spanduk dan poster-poster yang menempel sembarangan di mana-mana menjelang pemilu dan pilkada. Aku tidak suka mukaku ada di mana-mana karena ada kemungkinan posternya akan dicoret-coret atau dijahili anak punk dengan cat semprot. Kenapa aku tahu? Karena aku pernah lihat beberapa orang yang mencoret-coret spanduk dan poster kampanye dengan spidol, cat semprot kalengan, atau apa saja yang bisa membuat gambarnya jadi konyol bahkan tidak terlihat. Aku tidak mau membuang uangku untuk mencetak foto dan menempelnya di penjuru dunia karena aku tidak mau orang-orang hafal dengan mukaku.

“kalo Om Jaya itu kerjanya apa?”

“Dia bankir.” Pendek Ibu

“Bankir itu apa?”

“Yang kerja di bank.”

“Yang punya bank?”

“Memang kenapa kamu tanya-tanya soal mobil? Masih mau nangis-nangis nginep di mobil si Jaya?” 

Ibu mematikan kompor dan melihat ke arahku yang dari tadi duduk tenang di meja makan. Aku seketika membenarkan posisi dudukku seakan-akan aku sedang berada di kelas tata krama sekarang dan aku sedang membuat kesalahan yang membuatku menegang karena takut dihukum.

“Cuma lagi ngerjain PR Bahasa Indonesia.” Jawabku sambil menunduk karena tidak berani menatap mata Ibu.

“Kamu bisa kerja apa saja nanti asal kamu belajar yang pintar.” Ibu menuang jengkol balado ke atas piring dan meletakkan piring itu di meja makan. Setelahnya ia sibuk di depan kran cuci piring.

Bukan, itu bukan jawaban yang aku inginkan tapi dari nada bicaranya aku menangkap kalau Ibu tidak ingin aku bertanya lagi. Kamu pernah dengar nada bicara seseorang yang sedang kelelahan karena seharian ia menyapu, mengepel, memasak, mencuci baju, menyetrika, menyikat kamar mandi, dan tidak dapat jatah tidur siang? Itu nada bicara Ibuku saat itu.

Aku beranjak dari dari meja makan dan pergi ke teras rumah sambil memikirkan pekerjaan Om Jaya yang sebenarnya aku masih belum tahu apa yang ia lakukan. Mungkin karena bekerja di bank Om Jaya jadi punya banyak uang. Atau dia bisa cetak uang sendiri di bank karena dia bekerja di sana, jadi dia selalu punya uang banyak makanya dia bisa beli mobil. Ayah tidak punya uang sebanyak Om Jaya makanya kita cuma punya motor vespa jadul. Tapi tidak apa-apa, meski uangnya tidak banyak Ayah selalu membelikan buku teka-teki tiap bulannya jadi aku tidak akan protes kenapa kita tidak punya mobil seperti Om Jaya. Ibu juga tidak lagi memiliki penghasilan sejak berhenti bekerja dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga tetap dua tahun lalu. Aku belum bisa bekerja dan menghasilkan uang tapi aku punya kesempatan untuk punya uang dan beli mobil asal aku belajar yang pintar kata Ibu. Tapi, kira-kira aku harus jadi apa agar aku bisa naik mobil setiap hari?

Aku memungut koran bacaan Ayah yang berada di kolong meja kaca di depan rumah. Ayah memang berlangganan koran harian. Terkadang aku suka melihat-lihat juga untuk mencari apa ada kuis teka-teki yang bisa aku isi di sana atau apa ada berita duka dari seseorang yang kukenal di koran itu. Aku suka membaca bagian berita duka di situ sambil membayangkan bagaimana jika ada muka orang yang aku kenal di sana, meski kenyataannya hingga kini belum pernah ada. Aku pernah tidak sengaja melihat di sinetron yang ditonton Ibu tiap malam di waktu aku belajar, ada orang meninggal dan banyak sekali karangan bunga besar-besar datang menghias rumahnya. Aku tidak pernah lihat itu di lingkungan rumahku, jadi aku berpikiran mungkin karena berita duka orang itu ada di koran jadi banyak orang yang ikut berduka dan orang-orang itu berkirim bunga-bunga yang besar. Aku tahu, apa yang ada di koran itu bisa membuat seseorang menjadi terkenal.

Aku melihat beberapa highlight berita yang ada di koran itu. Salah satunya berita tentang penyelamatan anak anjing yang terjebak di atas pohon. Entah bagaimana caranya anak anjing itu bisa ada di sana, aku juga tidak bisa membayangkannya karena aku belum pernah melihat anjing memanjat, tapi berita tentang penyelamatan yang dilakukan petugas damkar itu rupanya memotivasiku untuk mengerjakan tugas Bu Ani.

Hari ini Bu Ani memeriksa tugas Bahasa Indonesia kami. Sambil menunggu buku yang sedang ditulis, beberapa anak saling bercerita tentang cita-cita yang mereka tulis di buku mereka. Aku tidak tertarik untuk bicara dengan siapa-siapa. Baru saja Tri melenggang meninggalkan mejaku karena gagal mengajakku bercerita soal cita-cita. Tri dengan bando ungu gambar kelinci tadi menghampiriku dengan wajah sumringah.

“Ya, cita-cita kamu apa?” katanya tiba-tiba sambil meletakkan kedua tangannya di atas mejaku.

“Aku lagi nggak mau ngobrol.”

“Tapi dibolehin kok sama Bu Ani kalo ngobrolin cita-cita.”

“Iya, aku lagi nggak mau ngobrol. Mulut aku bau habis makan jengkol balado semalam.” Bohong, aku tidak suka jengkol balado.

Bu Ani berdiri dari kursinya. Ia bilang ia senang melihat tulisan kami tentang cita-cita. Ia juga bilang akan memanggil beberapa anak untuk membacakan tugas mereka di depan kelas. Ada Tomi yang menjelaskan betapa dirinya ingin sekali menjadi pilot, ada Anton yang ingin terbang ke bulan dengan menjadi astronot, Ayu yang ingin jadi tukang gado-gado seperti ibunya tapi ia ingin buka banyak cabang di seluruh Indonesia, Sabah si anak rambut ikal yang tidak suka dipegang rambutnya tapi ingin jadi perawat saat besar nanti, dan yang terakhir aku.

“Saat dewasa nanti, saya ingin menjadi pemadam kebakaran yang bisa menolong banyak orang. Pemadam kebakaran bukan hanya bertugas memadamkan api. Mereka menolong banyak orang dari bahaya, menyelamatkan orang dari bencana, juga bisa menyelamatkan hewan seperti yang pernah saya baca di koran…”

Seluruh kelas mendengarkan aku membaca 3 paragraf yang aku tulis rapi di buku tulisku. Hening mengisi penuh seisi ruang kelas. Dari ekor mata sebelah kiri aku bisa melihat Bu Ani yang tersenyum di tempat duduknya sambil mendengarkan aku berbicara.

“Keren sekali Soraya cita-cita kamu. Ada lagi alasan lain yang membuat kamu ingin jadi pemadam kebakaran tapi nggak kamu tulis?” Bu Ani bertanya setelah selesai mengajak seisi ruangan bertepuk tangan. Sekarang aku merasa seperti sedang berada pada sebuah lomba debat antar Kabupaten.

“Mobil pemadam kebakaran itu keren. Warnanya cerah. Saya mau naik itu.”

“Bu Ani.” Seorang anak laki-laki yang duduk di bangku paling pojok sebelah kanan mengangkat tangannya. Semua orang ikut penasaran dengan apa yang akan dia katakan. Aku tahu anak itu karena aku sekelas dengannya sejak kelas 2, tapi aku tidak berteman dengannya. Aku bukannya anti-cowok, hanya saja tidak semua anak laki-laki bisa diajak berteman. Terkadang mereka melakukan hal di luar nalar anak perempuan. Atau mereka bisa tiba-tiba mengejek apa yang anak perempuan lakukan. Walau dalam kasusku, kami tidak berteman karena aku bukan anak yang akan menghampiri anak lain untuk berteman terlebih dahulu. Aku selalu berteman dengan siapa saja yang menghampiriku terlebih dahulu. Dan anak itu tidak pernah.

“Memangnya anak perempuan bisa jadi pemadam kebakaran? Bukannya itu pekerjaan bapak-bapak?” Setelah memastikan dirinya mendapat perhatian Bu Ani, kini anak itu mengutarakan pertanyaan yang mengganggunya.

Sebenarnya aku juga tidak tahu apa ada pemadam kebakaran perempuan di dunia ini karena yang biasa aku lihat di televisi hanya laki-laki. Aku juga mengerjakan tugas ini tanpa bertanya lagi pada Ibu dan Ayah karena rasanya cukup aku saja yang mengutarakan keinginanku saat ini, aku merasa tidak perlu ada ikut campur dari mereka karena ini hanya tugas sekolah. Ibu juga bilang aku bisa jadi apa saja asal aku belajar. Berarti, itu tandanya aku bisa jadi apa saja, kan?

“Pekerjaan itu bisa dikerjakan baik perempuan dan laki-laki. Siapa saja bisa jadi apa pun. Misalnya guru, di sekolah ada Bapak guru dan Ibu guru. Kita semua bisa jadi guru. Begitu pun yang lainnya. Cita-cita itu tidak ada batasannya, jadi kalian bebas punya cita-cita apa saja. Tapi jangan lupa, cita-cita ada bukan hanya untuk menjadi mimpi saja melainkan kita juga harus berusaha dan belajar agar mimpi kita semua, cita-cita itu, jadi kenyataan.” Bu Ani menjelaskan sambil menunjuk jarinya padaku lalu menunjuk bangkuku, memberi pertanda bahwa aku dipersilakan untuk kembali ke tempat duduk. Aku mengangguk dan segera berjalan menuju tempat dudukku.

“Tapi guru olahraga laki-laki. Mana ada guru olahraga perempuan?” anak itu menyanggah. Aku menengok ke tempat duduknya, penasaran dengan raut wajahnya saat bertanya. Anak itu melihat mataku juga tapi tidak ada yang bisa aku artikan dari tatapan matanya atau raut mukanya. Mungkin dia terbiasa merasa penasaran sampai raut wajahnya saat bertanya tidak terlihat seperti orang yang benar-benar penasaran. Dia juga tidak terlihat ingin menggangguku karena mukanya tidak menggambarkan ekspresi anak jahil atau ekspresi anak nakal yang sedang dapat ide baru yang menurutnya bagus.

“Enam tahun yang lalu guru olahraga di sekolah ini perempuan. Sebelum Pak Togar yang mengajar. Namanya Bu Nuri. Jadi, semua orang baik laki-laki atau perempuan bisa jadi apa saja yang mereka impikan.” Bu Ani menyelesaikan jawabannya dengan senyuman lembut keibuan. Dia benar-benar orang tua impian.

Ya, Bu Ani benar. Cita-cita itu untuk siapa saja. Tapi Bu Ani tidak pernah bilang kalau cita-cita bisa berubah seiring bertambahnya usia. Cita-cita bisa berubah sesuai perjalanan hidup yang kita lalui, termasuk cita-citaku yang akhirnya hilang karena Ibu dan Ayah punya cita-cita lain untukku. Yang satu ini, Bu Ani juga tidak pernah bilang kalau orang tua bisa menentukan cita-cita anaknya.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja