Membicarakan Dunia Remaja Lewat Buku Fiksi: A untuk Amanda dan Sylvia's Letters
notes: Aku bukan siapa-siapa, cuma pembaca biasa yang mau memuntahkan apa yang ada di kepalaku tentang buku-buku ini.
Di bulan Juli ini aku sudah menghabiskan 2 novel fiksi remaja yang secara tidak sengaja memiliki tema yang sama, yaitu mental health. Sama-sama memiliki tokoh yang masih remaja, dengan tema yang sama namun konflik berbeda, hal ini membuatku enggan untuk segera move on dari dua buku ini. Bahkan yang biasanya aku merasa 'selesai' setelah menuliskan review pendek dari buku yang telah kubaca, teruntuk dua buku ini seperti punya daya pikat sendiri sehingga membuatku ingin membahasnya.
Sebagai manusia yang sudah memasuki usia dewasa, pernah menjadi remaja tidak serta merta membuatku bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh anak usia belasan. Tiap manusia memang berbeda, tapi bukankah seharusnya aku bisa sedikit mengerti tentang apa yang mereka alami? Kan aku pernah berada di fase itu? dan fakta bahwa aku hidup bersama adikku yang remaja namun aku cukup kurang mengerti jalan pikirnya juga sedikit menamparku.
Sosok remaja pada A untuk Amanda dan Sylvia's Letters disuguhkan sebagai remaja yang cerdas dan berpikiran lebih dewasa daripada usia mereka. Mereka tahu apa yang mereka lakukan, mereka cukup perhatian pada apa yang ada di sekitar mereka, mereka mandiri dan dapat bertanggung jawab hingga orang tua mereka seperti tidak punya kekhawatiran tentang hidup yang dijalani anaknya itu. Ada hal yang terlupakan di sini. Fakta bahwa Amanda dan Sylvia masih berada di fase remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa, menjadi kabur hingga luput dari perhatian orang tua.
Aku bahkan berkali-kali bertanya di mana orang tua Sylvia? Kemunculannya yang jarang di dalam cerita memberi sinyal tersendiri; bahwa memang kehadiran mereka di hidup Sylvia seperti angin lalu yang bahkan bagi si anak sendiri tidak terlalu penting untuk diceritakan. Aku merasa sedih waktu teman-temannya Sylvia mulai menyadari perubahan fisiknya dan menyarankan ini itu agar ia membaik. Namun sebaliknya, orang tuanya sendiri malah hilang?
Sama halnya juga dengan Amanda yang sempat ditegur mamanya karena 'malas' tanpa bertanya atau mencari tahu apa yang sedang dialami oleh anaknya. Tapi aku bersyukur Amanda pada akhirnya meminta pertolongan mamanya dan mamanya juga 'pasang badan' demi Amanda. Sangat amat berkebalikan dengan nasib Sylvia.
Anak remaja meski terlihat sudah besar bahkan sudah dianggap dewasa sekalipun tetap perlu diperhatikan. Masa remaja memang masa di mana pola pikir anak menjadi lebih berani dalam banyak hal, merasa benar dalam melakukan ini dan itu, tapi bukan berarti mereka tidak butuh dibimbing. Aku tipe orang dewasa yang suka membimbing adikku dalam banyak hal. Aku terlalu khawatir adikku melalui hal-hal yang tidak menyenangkan seperti dulu waktu aku remaja. Namun aku sendiri terkadang merasa kasihan dengannya yang terlalu dikekang oleh orang tuaku dan selalu dianggap sebagai anak kecil olehku sendiri dengan sikap posesifku. Kadang aku frustasi juga, membayangkan bahwa adikku punya banyak daftar hal yang ingin dia lakukan tapi tidak bisa terlaksana karena mungkin takut kena marah orang tuaku.
Kata Onew Shinee di salah satu konten youtube Kimbab Family, saat anak menjadi remaja mereka akan jarang mengobrol dengan orang tua. Hal yang sama juga kutemukan dari dua buku ini. Aku berpikir, mungkin karena mereka cukup dianggap dewasa dan bisa memecahkan masalah sendiri, mereka dilimpahi kemerdekaan sebagai remaja yang boleh bereksperimen dalam dunia mereka. Mereka bebas berpikir sesuai yang mereka mau, bebas bertindak sesuai apa yang mereka kehendaki, padahal di satu sisi mereka masih perlu diawasi. Hilangnya sosok orang tua justru bisa berdampak buruk juga bagi mereka.
Beruntunglah Amanda yang menyadari ada yang salah dengan dirinya dan pada akhirnya Ibunya juga sangat membantunya. Aku cuma bisa membayangkan betapa hancur dan menyesalnya orang tua Sylvia dengan nasib anaknya. Meski penyebab utamanya bukanlah mereka, namun kealpaan mereka juga bisa kubilang memperburuk keadaan.
Membicarakan kondisi mental membuatku terkadang memikirkan sebab akibat dari suatu hal. Misalnya, meski aku tau aku salah waktu berpikir Amanda tidak punya alasan untuk depresi karena hidupnya baik-baik saja dari kacamataku, tapi hal ini kembali terulang waktu aku baca ceritanya Sylvia. Bagaimana bisa seorang remaja jatuh cinta disaat bersamaan ia mengalami gejala depresi? Bukannya hidupnya terlalu bahagia untuk menjadi sakit? Lalu aku merasa bodoh sendiri karena perkara kesehatan mental ini tidak semudah mencari sebab-akibat seperti menyimpulkan aku terkena flu karena habis kehujanan.
Berpikiran bahwa Amanda tidak berhak stres karena selalu mendapat nilai A dan Sylvia tidak berhak sakit karena sedang dimabuk cinta sama saja dengan berbuatan jahat. Karena pada kenyataannya, pikiran dan emosi mereka yang disangkal itu mengarahkan mereka pada kondisi yang lebih buruk lagi. Daripada memperburuk keadaan dengan kata-kata sepele tapi memiliki efek setajam pedang, aku cukup setuju memikirkan hal-hal sederhana yang sebenarnya mereka butuhkan dan bisa membantu mereka keluar dari pusaran pikiran negatif mereka.
Misalnya, Amanda butuh didengarkan. Ia butuh orang untuk menumpahkan praduga yang selama ini ia pelihara di kepalanya tanpa perlu disangkal. Ia memang punya teman, tapi ternyata temannya kurang membantu, sedangkan ia sendiri cukup lelah untuk bicara pada Ibunya karena Ibunya pernah menganggap dirinya terlalu malas waktu enggan meninggalkan kasur. Begitu pula dengan Sylvia, ia butuh teman makan. Teman makan yang tidak hanya hadir secara fisik duduk di sekitarnya dan menyuruhkan makan, tapi adalah sosok yang bisa menumbuhkan motivasinya untuk makan dengan nyaman, membuatnya punya alasan lain untuk makan selain karena ia makhluk hidup yang butuh makan untuk tetap hidup. Ia punya sahabat yang sering mengingatkannya, tapi lagi-lagi kurang memberikan dampak karena ia melihat sahabatnya ini cuma sekadar mengingatkan aja. Ia butuh lebih diperhatikan.
See? Betapa sedihnya aku waktu menyadari bahwa dua tokoh ini sebenarnya bisa hidup tanpa mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan tapi tidak disadari oleh orang-orang dan semuanya bisa dilakukan dengan hal yang cukup sederhana.
Berkaca pada diri sendiri, waktu aku remaja aku juga pernah punya pemikiran seperti tokoh-tokoh pada buku ini. Aku pernah merasa bahwa orang tuaku tidak mungkin mengerti apa yang aku alami dan membiarkan diriku dilanda kesepian saat mencoba menyelesaikan masalahku sendiri. Tapi hal ini juga ngga membuatku langsung mengerti kenapa sih adikku enggan untuk menceritakan hari-harinya kepadaku? Kenapa adikku seperti punya dunia sendiri yang bahkan tidak bisa kutembus? Dan aku berkesimpulan bahwa memang di masa ini mungkin ia ingin tau banyak hal, ingin menguji kedewasaannya sendiri, dan tidak ingin mempersulit keadaan seperti yang dulu aku rasakan.
Selama ini aku penikmat cerita remaja yang berkaitan dengan percintaan. Percintaan remaja bagiku selalu terasa segar untuk dinikmati, sekaligus menjadi media untuk bernostalgia. Tapi belakangan aku jadi mengerti, bahwa dunia remaja ngga cuma tentang percintaan dan persahabatan aja. Ada sisi lain yang juga perlu diperhatikan dan diekspos. Melalui karya fiksi, aku berprasangka setidaknya media ini lebih mudah diakses baik bagi remaja sendiri ataupun orang dewasa penikmat fiksi remaja sepertiku sehingga bisa lebih mudah dimengerti dari berbagai sisi. Remaja mungkin bisa saja terlihat lebih dewasa dari usianya tapi kita tidak boleh menghilangkan sisi 'ke-remaja-an' itu sendiri.


Komentar
Posting Komentar