[BOOK REVIEW] Mereka Bilang Ada Toilet Di Hidungku Karya Ruwi Meita

 

novel mereka bilang ada toilet di hidungku
                                                    pic captured from Ipusnas
Setiap masa lalu, masa kini, dan masa depan bisa disimpan dalam buku. Jadi membacalah untuk mengetahuinya dan menulislah untuk menciptakan masamu sendiri. (hlm. 57)

 

Judul: Mereka Bilang Ada Toilet Di Hidungku
Penulis: Ruwi Meita
Penyunting: Ani Nuraini Syahara
Desainer: Yanyan Wijaya
Ilustrasi Cover: Fahmi Fauzi
Penata Letak: Dea Elysia Kristianto
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Terbit: 2019
ISBN: 9786232162587
Tebal: 303 Halaman 


BLURB

Setiap hari Imalovix menjadi bahan olok-olok karena statusnya sebagai anak rahim asli. Pada zaman itu, anak-anak rahim asli dianggap kelas bawah karena kualitasnya jauh dibanding anak-anak rahim kaca yang merupakan anak unggulan, terbaik, dan kebal terhadap virus. Imalovix tidak bisa mengelak karena dia memiliki tanda lahir di bagian yang tak bisa ia sembunyikan: mata.

Suatu hari, kakeknya memberikan sebuah jurnal yang ditulis seribu tahun lalu oleh seorang gadis bernama Kecubung. Seperti Ima, Kecubung memiliki tanda lahir di hidungnya dan itu membuatnya juga diolok-olok. Dengan kemarahan karena merasa dikasihani, Imalovix mengembalikan jurnal itu kepada kakeknya.

Namun, kemarahan itu justru menimbulkan kedukaan lain, hingga Imalovix pun berharap bisa mendapatkan jurnal itu Kembali.

Ada bagian dalam kehidupan ini yang harus tetap berjalan alami, dan ilmu pengetahuan tidak selamanya menjadi sebuah jawaban.

---


Setelah berkenalan dengan karya Ruwi Meita yang pertama kunikmati, Belenggu Ilse, kini aku kembali merasa senang setelah membaca bukunya yang berjudul unik dengan cover lucu warna hijau nan eye-catching ‘Mereka Bilang Ada Toilet Di hidungku’. Aku bisa bilang ini buku terseru dari semua buku yang kubaca selama setengah tahun awal di 2022. Buku ini benar-benar meninggalkan kesan yang sulit lepas dari ingatanku. Bahkan aku sendiri ngga percaya kalo bisa begitu menikmati cerita science-fiction ini yang bukan zona nyamanku.

Buku ini mengambil latar tempat dan waktu di ribuan tahun yang akan datang di mana Yogyakarta yang sekarang kita kenal sudah berubah nama menjadi Yolekata. Khayalan masa kecilku merasa terkoneksi dengan cerita ini. Waktu kecil aku pernah study tour ke Museum Minyak dan Gas Bumi dan waktu di sana, tepatnya saat aku menonton video penjelasan bagaimana minyak bumi ada, aku berpikir kalau mungkin ribuan sampai ratusan juta tahun yang akan datang aku juga akan mengendap lalu menjadi bagian dari sumber minyak bumi di masa depan kalau masih ada kehidupan. Lalu buku ini menyambut khayalanku soal kehidupan masa depan yang ternyata sudah sangat maju. Semua sisi kehidupan sudah didukung dengan baik oleh teknologi yang sangat canggih. Bahkan kamu bisa tinggal di sebuah kota yang melayang di udara karena disangga oleh asteroid yang diambil langsung dari luar angkasa. Semua akses kendaraan pun berjalan di udara seperti yang ada di film 'Stand By Me Doraemon' meski masih ada juga kereta biasa yang sering digunakan oleh Imalovix dan manusia rahim asli lainnya.

Bicara soal rahim asli, pada masa di mana Imalovix hidup, manusia dibagi menjadi dua jenis yaitu yang lahir dari rahim asli yang semasa janin berada di kandungan Ibu langsung dan yang lahir dari rahim kaca di mana mereka adalah bayi dari program inseminasi buatan yang dikontrol langsung oleh dokter di rumah sakit, jadi masa kandungan dijalani di dalam tabung bernama rahim kaca bukan dalam kandungan ibu langsung. Keadaan ini ternyata melahirkan rasisme jenis baru di masa itu yang juga menjadi masalah utama pada kehidupan Imalovix sebagai anak rahim asli. Imalovix yang menurutku merupakan anak yang asik, pintar, berani, dan baik pun menjadi seorang yang sering melihat dirinya kecil hanya karena ia adalah anak rahim asli.

Dari semua cerita yang membuat aku ngga berhenti terkagum-kagum sama kecanggihan teknologinya, ada juga sisi lain yang bikin hati ikut merasa miris seperti misalnya Ima yang setiap harinya makan kapsul sari makanan karena keadaan bumi yang sudah rusak dan membuat bahan makanan asli menjadi sesuatu hal yang mewah. Kalau pun ada yang makan makanan asli di restoran mahal, itu semua sintetis karena memang sulit sekali untuk mendapatkan bahan asli jika tidak punya banyak uang. Selain itu, setiap harinya manusia harus menggunakan pelindung tubuh karena kalau terkena udara langsung bisa sangat berbahaya, bisa terserang 'penyakit tubuh gila', apalagi jika sedang hujan asam yang tentu saja sangat membahayakan kulit. Sedih sekaligus merasa bersyukur dan jadi reminder juga buatku untuk terus ikut berpartisipasi melestarikan lingkungan biar ngga bikin bumi ini rusak.

Aku suka sama plot ceritanya yang terasa natural. Ngga ada bagian yang bikin aku kaget karena merasa aneh atau bikin aku mengambil jeda lama karena bingung mencerna apa yang kubaca. Kalau diibaratkan makanan, buku ini bisa dibilang seperti gado-gado karena banyak genre yang diambil. Ada teenlit, science fiction, dan juga sedikit romance bersatu padu menjadikan buku ini begitu menyenangkan dibaca bahkan bagi seorang yang kurang menaruh perhatian lebih pada cerita science fiction seperti aku. Saking menyenangkannya, setelah baca buku ini aku langsung mau baca ulang karena memang seru sekali.

Sama dengan Belenggu Ilse, cerita ini juga menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Imalovix dan juga sudut pandang orang ketiga. Selain itu, lembaran jurnal di dalam novel ini yang muncul tiap awal bab juga membuatku tebak-tebakan siapa penulisnya sama seperti yang aku lakukan waktu aku baca Belenggu Ilse. Ruwi Meita juga kembali membuat open ending di buku ini, yang membuatku meyakini kalau buku ini pasti akan ada lanjutannya karena tokoh Qariya masih sangat abu-abu kehadirannya di buku ini meski di bagian akhir buku tidak ada petunjuk apa pun soal kelanjutan ceritanya. Well, let’s wait for the next book mungkin tentang masa SMA Imalovix yang kini sudah menjadi siswi terkenal? Semoga saja penulis mengamini hehe membayangkannya saja aku udah semangat sekali nih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja