[BOOK REVIEW] Mencari Simetri Karya Annisa Ihsani

 

novel mencari simetri


Judul: Mencari Simetri
Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Mery Riansyah
Penyelasah Aksara: Yuliono
Desain Sampul: Sukutangan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2019
ISBN: 978602062936
Tebal: 240 halaman



"... ketika orang-orang menaruh ekspektasi mereka terhadapmu dan kau tidak bisa memenuhinya, itu bukan masalahmu. Kau tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang." (hlm. 52)


BLURB

Menjelang usia kepala tiga, April merasa gamang dan kehilangan arah. Ia memiliki karier yang nyaman, tapi tidak bisa dibanggakan. Punya banyak teman, tapi mereka sibuk dengan keluarga masing-masing. Dekat dengan Armin, tapi tak pernah ada kejelasan. Belum lagi menghadapi keanehan Papa yang terus menerus melupakan hal sepele.

Enam tahun April terjebak dalam hubungan yang rumit dengan Armin. Entah salah satu dari mereka punya pacar, atau memang sudah terlalu nyaman berteman. April tetap tak mampu melepaskan Armin sebagai sosok pria ideal.

Saat menemani Papa melalui serangkaian tes medis, Lukman hadir. Pria itu menawarkan kehidupan yang mapan dan hubungan serius.

April berusaha mencarari cara untuk menyeimbangkan hidupnya kembali. Dan cara untuk menemukan simetri hatinya. Memilih hidup Bersama Lukman, atau menunggu Armin entah sampai kapan. 

---

Aku merasa akrab sama novel ini padahal baru baca satu kali. Kok bisa? Bisa, kita aja punya masa di mana waktu pertama kali ketemu orang dan kenalan tapi rasanya kayak udah temenan lama karena beberapa hal yang ternyata ‘klik’ sama kita. Sama halnya dengan novel ini. cerita pada novel ini terasa sangat dekat dengan realita yang ku hadapi, jadi ngga sulit buat aku untuk bisa mengerti dan memahami si tokoh utama pada buku ini yaitu April.

April adalah kita, atau setidaknya beberapa orang pasti juga memiliki ritme hidup yang mirip dengannya, yang menjalani hidup dengan masalah yang pada novel ini datang silih berganti. Dari masalah percintaannya dengan Armin yang tak kunjung jelas arahnya ke mana, masalah mama yang kurang mengapresiasi jalan karir yang ia pilih, masalah papa yang tiba-tiba mengalami penurunan daya ingat, masalah dengan sahabatnya yang semakin menjauh karena sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri, dan yang paling utama adalah masalah manusia yang merasa bahwa kita selalu ‘in rush’ dengan usia biologis. Semua masalah datang, pergi, lalu datang lagi seperti tak memberi jeda dan menuntut untuk ambil bagian menjadi rutinitas.

Aku bisa mengerti April dan perasaannya. Orang tua yang selalu khawatir dengan karirnya yang biasa-biasa saja padahal pekerjaannya cukup nyaman untuk dijalani, orang-orang sekitar bahkan sanak keluarga yang kurang bersimpati malah menambah beban pikiran ketika mereka mulai menghujani dengan pertanyaan kapan nikah, mengingatkan soal usianya yang tidak lagi muda, mendoakannya cepat bertemu jodoh dan lain-lain, belum lagi rasa cintanya pada teman satu kantor yang sudah enam tahun terpendam tanpa adanya kejelasan, dekat tapi bukan pacar tapi seperti pacar yang senantiasa membuat hari-hari terasa lebih menyenangkan. Penulis berhasil membentuk karakter April yang ga hanya hopeless romantic tapi hopeless di hampir semua aspek kehidupan sebab semua tekanan itu.

Sesekali aku merasa kesal dengan April yang terlalu naif dan selalu punya alasan ‘tunggu deh kalo gue kasih waktu ke Armin dia pasti nyadar kok kalo di antara kita ada sesuatu yang lebih dari teman’ padahal sudah enam tahun lamanya mereka dekat, secara logika kalau memang keduanya merasakan sesuatu itu untuk apa membuang-buang waktu lama buat menyadari hal tersebut? Tapi kembali lagi, April benar-benar tergambar secara realistis dan ia punya pikiran kalau dia yang menyatakan maka akan putus pertemanan mereka. Selain itu, hubungannya dengan sahabat yang sudah menikah juga terasa relate di mana April merasa hampa karena temannya sudah berumah tangga dan memiliki kehidupan menyenangkan setelah punya anak dan tidak terlalu membutuhkannya lagi, setidaknya begitu yang ada di pikiran April setelah melihat postingan Instagram sahabatnya bersama para ibu muda dengan anak bayi mereka. Hal ini kemudian menjadi satu konflik sendiri yang baru aku sadari setelah buku ini habis kubaca sampai selesai.

Aku merasa alur cerita di novel ini cukup flat, ngga ada konflik yang benar-benar dibuat klimaks dan berdampak cukup signifikan kepada tokoh utama. Namun, mungkin aku bisa menganggap scene di mana papa April mengatakan padanya kira-kira bermakna begini: jangan merasa berhutang budi hanya karena seseorang berbuat baik padamu, adalah peak moment yang menjadi turning point bagi April dalam menentukan kehidupan asmara ke depannya. Selain itu, sekian banyak konflik yang dihadirkan kurang cukup membuat April untuk menjadi seseorang yang bisa tegas dalam bersikap dan berpikir. Misalnya saat dia heran kenapa papanya ternyata menjalani hidup yang berbeda dari apa yang dulu ia tahu, lalu ketika akhirnya dia bingung melihat Armin dengan perempuan lain, atau bahkan ketika ia menganggap sahabatnya itu tidak lagi butuh dia. Aku kesal karena dia tidak berpikir apa penyebabnya atau mengambil inisiatif dan malah berandai-andai yang lain. Aku merasa perkembangan karakter April masih bisa dibuat lebih lagi dari ini. 

Setelah akhirnya membaca novel ini hingga selesai dalam sekali duduk, aku berpikir mungkin memang ini yang ingin disampaikan oleh penulis. Novel ini terasa begitu dekat karena banyak hal di dalamnya yang kita bisa temui di keseharian dan bisa juga menjadi kritik untuk kita seperti orang yang menilai kehidupan orang lain lewat ungahan Instagram saja, orang yang berkomentar tentang hidup orang lain tanpa sepenuhnya kita ketahui yang sebenarnya bagaimana, orang yang tidak pernah merasa puas dengan dirinya sendiri karena belum bisa membuat orang lain bangga dengan pencapaiannya dan menjadi bom waktu tersendiri bagi kita kedepannya dalam membuat keputusan dalam hidup. Kita ngga apa-apa kok punya hidup biasa-biasa saja. Apa itu worklife balance? Apa iya menikah menjadikan posisi kita berada satu step lebih tinggi? Apa umur biologis harus selalu jadi patokan seorang harus sudai mencapai a b c d atau sudah melalui fase hidup a b c d e? Semua keresahan pada buku ini nyata dan kamu ngga mengalami ini sendirian. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja