[BOOK REVIEW] Lebih Senyap Dari Bisikan Karya Andina Dwifatma
Mami selalu bilang padaku bahwa di dunia ini kita hanya dapat mengandalkan diri sendiri. (hlm. 65)
Penulis: Andina Dwifatma
Editor: Teguh Afandi
Desain Sampul: Leopold Adi Surya
Desain Isi: Ayu Lestari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2021
ISBN: 9786020654201
ISBN PDF: 9786020654218
Tebal: 155 Halaman
BLURB
Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.
Amara dan Baron dikepung pertanyaan mengapa belum punya anak. Aneka usaha untuk hamil nyatanya telah mereka lakukan, dari yang normal hingga ekstrem. Namun, persoalan tidak selesai tatkala Amara hamil dan melahirkan. Ada yang tidak ditulis di buku panduan menjadi orangtua, ada yang tidak pernah disampaikan di utas Program Hamil.
Lebih Senyap dari Bisikan merupakan novel kedua Andina Dwifatma, setelah Semusim, dan Semusim Lagi (2013)—pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Novel ini membuka mata pembaca dengan kisah Amara dan pahit manis kehidupan perempuan dalam menemukan apa yang berharga.
Amara dan Baron adalah pasangan suami istri beda agama yang ingin hidup mandiri dan lepas dari nilai-nilai tradisional yang terkungkung di masyarakat kita.Nekat melanggar restu orang tua masing-masing, mereka mulai mendesain kehidupan bahagia versi mereka sendiri. Mereka hidup bahagia sebelum akhirnya keresahan tentang momongan yang tak kunjung hadir itu mereka dapatkan dari basa-basi tetangga dan kerabat yang menanyai mereka layaknya mereka juga punya andil dalam urusan domestik Amara dan Baron.
Membaca novel ini, kita akan disuguhkan banyak pengalaman biologis yang dialami oleh Amara. Bagaimana ia menceritakan tentang kegiatan ranjang dengan Baron yang semakin hambar, indra penciuman dan pengecap yang berfungsi tidak biasanya di awal kehamilan, kondisi kulit dan rambut menyedihkan yang tidak sama persis seperti apa yang pernah ia baca, sampai rasa sakit yang amat menyiksa saat menunggu jalan lahir untuk anaknya terbuka sempurna. Semuanya ditulis dengan sangat jujur, membuat novel ini terasa spesial karena hanya perempuan yang bisa menuliskan ini, perempuan yang menjalani semua ini dan ini adalah bagian dari perempuan yang jarang kujumpai pada tulisan fiksi.
Aku ngga menyangkal bahwa apa yang terjadi pada Amara ini sering aku jumpai di lingkunganku. Aku secara sadar bisa berempati dengan keresahannya. Pertanyaan tentang ‘mengapa harus perempuan yang mengalami ini?’ terurai dengan halus menjadi beberapa keresahan yang Amara rasakan lewat kejadian-kejadian yang menimpanya. Pembaca dibuat mengerti tiap masalah yang ada di kehidupan Amara sebagai tokoh utama untuk kemudian menjadi tertegun setelahnya, ikut mempertanyakan ‘mengapa kehidupan bisa begini?’ atau ‘mengapa hal seperti ini sering terjadi dan terasa umum, dan sekarang aku malah ingin marah karenanya?’
Untuk menunjukkan woman empowerment, Amara tidak dibuat sebagai wanita perkasa yang dengan mandiri bisa melakukan ini dan itu sendirian atau dibuat anarkis, terlalu berani mengambil resiko dan menjadi pembangkang untuk menunjukkan bahwa ia punya power untuk melakukan suatu hal dan tidak ada yang bisa menghalangi.
Karakter Amara dibuat kuat karena keadaan menuntutnya. Ia mengambil beberapa pilihan untuk dirinya ketika ia merasa harus, terkadang membuat keputusan yang tidak melulu karena keinginannya, namun tidak pernah bertemu keinginan untuk putus asa dan menyerah karena hidup terus berjalan seperti tidak peduli pada apa yang terjadi dengan nasibnya. Karakter ini terlalu nyata sebagai tokoh fiksi, membuat novel ini terasa seperti memoar.
Pada beberapa bagian cerita, aku merasa ingin marah seperti
saat Amara melahirkan dan sedang mendapatkan jahitan lalu sang dokter dengan
entengnya mengatakan "kita rapetin ya, biar bapak senang." Membuat aku
ikut bertanya-tanya sendiri, apa perjuangan hidup dan mati seorang ibu tidak
lebih berharga dibandingkan dengan membuat suami senang? Apa perempuan
diciptakan hanya untuk membuat laki-laki senang? Lalu aku teringat tentang isu
yang belum lama ramai menguap di dunia maya, menjadi perdebatan dan membuat
kemarahan bagi perempuan, yaitu husband stitch.
Aku terlempar ke bagian awal cerita di mana seorang kerabat
memegang perut Amara seraya bertanya apakah ia sudah isi? Dan Amara bertanya
dalam hatinya, mengapa orang-orang tidak memegang kelamin Baron sambil bertanya
apakah ia sudah berhasil menghamili Amara? Aku tergelak tapi di saat bersamaan
aku ikut mengangguk dan mempertanyakan hal yang sama.
Kehidupan selalu punya cara untuk menyembunyikan rahasia. Apa yang kita lihat tidak selalu terasa persis sama dengan apa yang kita alami langsung. Seperti Amara yang merasa bingung dengan pengalaman yang ia dapatkan saat mengandung dan melahirkan. Sekeras apa pun ia belajar dan melakukan persiapan, ternyata kenyataannya ia masih tidak luput dari kebingungan.
Why has nobody told me this before? Why was it so easy when I learn this and that but it is hard to practice in reality?
yang paling signifikan adalah ketika Amara bercerita tentang Mami. Maminya adalah orang tua tunggal yang menurut pandangannya adalah seorang yang sukses tidak hanya sebagai wanita karir, tetapi juga sukses dalam membesarkan anak. Ia sendirian tapi semua tetap bisa ia lakukan dengan baik. Dan kebalikannya, Amara yang sudah menyusun rencana matang sedemikian rupa untuk merawat anaknya bersama-sama dengan Baron nyatanya sering kewalahan dan merasa sendirian.
Selain Amara, kita juga bertemu dengan Baron sang maskulin dalam cerita ini. Baron adalah laki-laki manis yang mencintai Amara dengan caranya. Seperti gambaran sosok maskulin pada umumnya, Baron selalu ingin melindungi dan bertanggung jawab sebagai seorang suami. Menjadi yang tidak akan pernah lemah tak peduli apa pun yang terjadi. Menjadi orang yang memimpin seperti seharusnya. Dan kemudian maskulinitasnya ini membuat kita mengerti betapa sedihnya seseorang yang merasa harus selalu menunjukkan maskulinitas dan menjadikannya tidak enak hati saat menghadapi masalah yang membuatnya mungkin ingin menjerit-jerit tetapi terlalu malu membayangkan kelemahannya diperlihatkan kepada orang.
Kita juga bertemu Mami dan Macan sebagai sosok wanita kuat lainnya. Mami yang kuceritakan sebelumnya, sosok wanita mandiri, tegas, namun tetap baik hati bagai peri. Lain halnya dengan Macan, yang digambarkan sebagai perempuan kuat, pemberontak, dan sangat gigih.
Tiga wanita inilah yang membuat aku benar-benar sadar bahwa novel ini
secara garis besar adalah tentang perempuan dan dunianya dan aku mengetahuinya setelah melahap habis seluruh isi buku.
Konflik yang ada di novel ini bisa dibilang konflik yang
cukup umum. Masalah komunikasi dalam rumah tangga, tentang hubungan orang tua
dan anak, hingga masalah yang dihadapin masyarakat modern yang belum lama ini juga
cukup ramai. Semuanya umum namun inilah yang membuat novel ini terasa
realistis. Jalan ceritanya juga mengalir, tidak terlalu cepat ataupun lambat
tapi tidak terlalu datar juga karena beberapa twist juga cukup membuatku
melongo.
Lebih Senyap Dari Bisikan memperlihatkan kita sisi perempuan yang lain, yang ingin membuatnya berontak tapi tak selalu bisa, yang ingin ia ubah tapi tidak selalu dapat kesempatan, yang ingin membuatnya marah bahkan menjerit tapi terlalu lelah untuk dilakukan.
Dengan membaca novel ini kita juga bisa menangkap bahwa segila apapun nasib menimpa, kehidupan tidak butuh alasan untuk ditunda terlebih dahulu, ia akan terus berjalan dan kitalah yang mencari cara untuk tetap menjaga kewarasan demi menjalani hidup.

Komentar
Posting Komentar