Bawa Aku Jalan-Jalan

Salah satu pertanyaan yang masih tersimpan di kepalaku adalah: Mengapa aku lebih menginginkan orang lain mengajakku jalan-jalan ketimbang aku yang sebenarnya akan baik-baik saja ketika jalan-jalan sendiri? 

Yup, aku ingin sekali jalan-jalan tapi alih-alih melakukan solo traveling atau sekadar pergi menemukan coffee shop baru, aku selalu merasa sepertinya belum saatnya aku jalan-jalan. Aku selalu membatalkan rencanaku untuk pergi jalan-jalan sendiri. Entah berapa banyak video solo traveling yang sudah kutonton, berapa banyak tulisan di twitter tentang pengalaman atau ulasan suatu tempat menarik yang kusimpan di markah, nyatanya rasa ingin diajak jalan-jalan itu masih lebih mendominasi dalam benakku.

Apa aku memang bukan seorang yang mandiri? Lalu selalu kujawab TIDAK. Aku pernah melakukan ini dan itu sendiri, berpergian jauh sendiri juga pernah. Aku selalu menolak untuk dicap sebagai anak manja yang tidak bisa mandiri karena aku merasa hal itu tidak sesuai dengan fakta pengalamanku.

Lalu kemudian hari Sabtu pagi sebelum bulan Mei berakhir, aku meminta bapakku untuk mengantarku ke Senayan karena hari itu aku akan menghadiri tes kerja sebuah perusahaan swasta. Aku tidak memintanya untuk menungguku tapi kemudian ia yang memutuskan sendiri untuk menungguku hingga selesai tes. Satu hal yang baru kusadari, entah bapak atau mama, mereka selalu berusaha sebisa mungkin menemaniku di tiap awal aku melangkah. Mungkin karena aku anak pertama, apa pun pengalaman yang aku alami maka akan jadi pengalaman pertama bagi mereka juga. 

Pukul enam pagi kami meninggalkan rumah. Bapak mengendarai motor merah milikku yang sehari-hari biasa ia gunakan sejak terakhir aku memutuskan untuk ingin sering menggunakan kendaraan umum jika bepergian. Sesungguhnya, mungkin tidak ada yang spesial dalam perjalanan dari Tangsel menuju Senayan. Pemukiman penduduk yang berjajar di pinggir jalan, ruko dan warung kecil, lampu lalu lintas di perempatan jalan, terowongan di bawah jalan layang yang biasanya semasa kecil dulu jika sedang dalam perjalanan study tour dan melewatinya aku dan teman-teman akan berteriak heboh saat matahari tidak bisa kami lihat untuk sementara waktu lalu berteriak hore ketika terowongan itu sudah menemukan ujungnya. Tiang listrik dan lampu jalanan yang berjajar rapi bak penjaga jalan, kendaraan umum dan kendaraan pribadi yang melaju berdampingan atau saling menyalip. Semua suasana yang memang biasa akan ditemui dalam perjalanan menuju kota.

Bapak mulai bersuara ketika kami sedang melewati batas kota. Ia menjelaskan semua jalur jalanan yang terlihat oleh pandangan mata kami, menjelaskan satu persatu jalanan itu akan mengarah kemana, jalur mana yang bisa digunakan oleh kendaraan beroda dua, jalur mana yang hanya dibuka umum pada jam tertentu, jalur mana yang akan menghubungkan daerah satu dengan kota bagian lainnya. Rasanya seperti sedang ditemani pemandu wisata pribadi. Ini bukan kali pertamaku pergi ke kota, bapak juga tahu itu. Tapi mungkin untuk alasan tertentu ia merasa perlu menjelaskan banyak hal di sepanjang jalan kepadaku.

Beberapa kali aku menimpali omongannya. Begini-begini aku juga masih ingat jalan ke kota, ingat kendaraan apa saja yang bisa kunaiki menuju sana. Selayaknya tour guide sungguhan, bapak memberi berbagai informasi se-update mungkin yang ia tahu tentang beberapa tempat yang kita lewati. Mungkin dalam benaknya, setelah dua tahun tidak kemana-mana aku perlu di-upgrade soal pengetahuan ini. Aku tidak tahu berapa lama bapak menghabiskan waktu hidupnya mengarungi jalanan Ibukota, mungkin setengah dari umurnya atau lebih, namun pengetahuan yang ia bicarakan baik yang baru kuketahui ataupun yang sudah pernah kudengar darinya selalu membuatku kagum dan ingin terus mendengarkan semuanya. 

Dan saat itulah aku menemukan sesuatu, bahwa aku suka diajak jalan-jalan karena bapak selalu bercerita sepanjang perjalanan kami. Mungkin ini jawaban tepatnya.

Waktu kecil, aku dan keluarga hampir setiap tahun mudik ke kampung halaman bapak. Selama perjalanan, selain kaset musik daerah yang tak bosan ia perdengarkan kepada kami yang berada dalam mobil, bapak juga sering bercerita. Bercerita tetang bagaimana semangatnya ia untuk kembali pulang dan bertemu teman kecilnya, tentang masa kecilnya selama di kampung ataupun selama merantau ke Ibukota, tentang pandangannya soal hidup di kampung dan di pinggir kota, dan yang paling menarik lagi tentang pengalamannya bermain di danau ataupun di pantai bersama teman sepermainannya. Semua ceritanya terasa hidup, meski sudah diceritakan berulangkali aku tidak pernah merasa bosan mendengarkan. Bukan cuma itu, aku juga ingat ketika lebaran kami berkunjung ke sanak saudara di Ibukota atau di kota sebelah, bapak selalu punya cerita yang dengan senang hati ia bagikan kepada kami. 

Saat remaja, pada masa krusial di mana hubungan kami memang lebih berjarak, kemanapun kami pergi mulai dari ke kota tempatku sekolah menengah pertama yang hanya dilakukan setahun dua kali hingga kembali mengantarku sekolah setiap hari saat di bangku SMA semua perjalanan itu tidak pernah berisi dengan kekosongan yang hampa. Bagaimanapun perasaanku kala itu, yang kutahu bapak akan selalu bercerita tentang apa pun yang ia tahu atau yang sedang terlintas di kepalanya saat itu. Mungkin dari situ juga bakat story telling diturunkan kepadaku, tanpa kusadari.

Menemukan fakta baru dalam perjalanan ini ternyata membuatku berhasil menitihkan air mata. Ternyata pertanyaanku selama ini sudah menemukan jawaban dan jawaban itu merujuk pada hal yang kusukai dari orang yang sangat kusayangi bahkan tanpa sadar. Aku sangat sayang sama bapak dan aku tidak menyadari ini ketika beranjak dewasa. Kami berjarak karena beberapa sebab dan kali ini aku sedang berusaha mengikis jarak tak terlihat itu. Aku menangis karena ternyata aku baru sadar bahwa aku teramat sayang kepadanya tetapi aku tidak menyadarinya selama ini. 

Dengan perasaan senang dan terharu yang meletup di dalam dada, selama perjalanan pulang aku lebih banyak bersuara dibanding ketika pergi. Rasanya selalu menyenangkan jika berbicara dengan bapak saat perasaan sedang senang atau tenang dan santai. Aku ingin ia menangkap perasaan senang yang sedang kurasakan ini. Aku membicarakan soal tes yang kulalui, aku membicarakan soal tempat magangku dulu yang kebetulan kami lewati, bicara tentang kendaraan yang pernah membawaku berjalan mengarungi Ibukota.

Aku tahu rasanya memang menyenangkan jika membicarakan sesuatu dengan orang yang juga memiliki pengetahuan yang sama seperti yang kita ketahui. Aku ingin bapak senang, aku ingin ia tahu kalau selama ini aku selalu merasa senang mendengarnya berbicara dan berbagi informasi apa pun selama perjalanan. Dan aku melakukannya juga dengan caraku. 

Hari itu, aku senang menemukan fakta baru tersebut. Aku suka dan sering berharap diajak jalan-jalan oleh orang lain karena aku ingin mendengarkan mereka bercerita padaku selama perjalanan. Sama seperti apa yang dilakukan bapak kepadaku. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja