[BOOK REVIEW] Di Tanah Lada Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

 

novel di tanah lada


Kalau mencintai seseorang, seharusnya seseorang itu tahu kalau seseorang mencintai mereka. Karena, seseorang yang mencintai seseorang itu, harus menunjukkan kalau seseorang mencintai seseorang. Itu kata mama. (hlm. 190)


Judul: Di Tanah Lada Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie Editor: Mirna Yulistiani Copy Editor: Rabiatul Adawiyah Ilustrasi Sampul & Isi: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie Desain Sampul: Suprianto Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Terbit: 2015 ISBN: 9786020318967 Tebal: 244 halaman


BLURB

Namanya Salva. Panggilannya Ava. Namun papanya memanggilnya Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Ava sekeluarga pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal. Kakek Kia, ayahnya papa, pernah memberi Ava kamus sebagai hadiah ulang tahun yang ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa inggris. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu anak laki-laki bernama P. Iya, namanya hanya terdiri dari satu huruf P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.

---

Menurutmu, apa yang bisa dilakukan oleh anak umur enam tahun yang memiliki papa yang senang menghamburkan uang, sering marah-marah, dan tidak segan-segan melakukan kekerasan kepada anak dan istrinya? Anak mana yang mau dilahirkan dalam sebuah keluarga yang kurang harmonis? Aku yakin tidak ada satu pun di dunia ini, tentu saja.

Membaca cerita dari sudut pandang anak kecil buatku ini unik sekali. Rasanya seperti aku sedang mendengarkan racauan anak kecil yang tidak ada habisnya, kadang menggemaskan, kadang mengundang tawa, kadang menyebalkan, tak sekali aku terenyuh ketika Ava dan P mulai bercerita tentang papa mereka. Rasanya hati ikutan nyeri ketika mendengar sambil membayangkan apa yang telah mereka alami. Kejadian demi kejadian kurang menyenangkan itulah yang membuat mereka ingin berangkat meninggalkan orang yang memberi luka menuju tempat yang menurut Ava bisa membuat orang bahagia, di tanah tempat di mana banyak lada dihasilkan, di rumah Nenek Isma.

Secara pribadi, aku suka cara penulis menggunakan sudut pandang anak kecil di cerita ini. Penggambaran anak-anak yang polos, yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, yang suka meracau tentang banyak hal, yang suka meniru ucapan yang didengar atau sesuatu yang dilihat itu sukses dituang di buku ini. Aku tertawa waktu Ava dan P membicarakan tentang siapa yang mau jadi mama atau siapa yang mau jadi Kakek Kia dan tidak boleh ada yang jadi papa karena menjadi papa berarti menjadi orang jahat. Kemudian di bagian mereka membicarakan tentang reinkarnasi jadi penguin atau jadi ayam dan telur. Rasanya lucu sekali mendengar keluguan anak-anak berbicara tentang sesuatu yang belum terlalu mereka mengerti tapi di satu sisi juga miris karena apa yang mereka bicarakan ini juga menurutku hasil dari kejadian-kejadian pahit yang mereka alami. Meskipun ditulis dengan gaya khas anak-anak yang sedang bercerita, kesedihan yang ada di buku ini tetap bisa terasa. Nggak cuma perasaannya aja yang didapat tapi pesan dari cerita ini cukup bisa aku pahami. Bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah, bahwa segala trauma yang kita punya dan belum kita ‘sembuhkan’ akan punya dampak di kehidupan kita kedepannya, bahwa semua orang harusnya bisa bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.

Satu yang kurang kusukai dari buku ini adalah di bagian cerita menuju akhir. Aku yakin semua orang yang baca buku ini akan setuju kalau kubilang Ava adalah anak yang pintar luar biasa. Akan tetapi pada bagian ketika salah satu tokoh bernama Bang Alri berbicara mengenai perasaannya ke Ava, aku merasa part ini tiba-tiba berubah menjadi cerita dewasa. Aku merasa aneh ketika Ava tiba-tiba langsung mengerti ucapan Bang Alri yang panjang lebar dengan bahasa yang menurutku cukup rumit untuk langsung dimengerti oleh anak seusianya. Tapi aku nggak bisa bilang ini plot hole karena secara alur aku masih bisa menikmati ceritanya sampai habis.

Terakhir, aku mau kasih tepuk tangan untuk penulisnya yang berhasil membuat plot twist yang cukup pintar dan menurutku sesuai porsi sehingga membuat cerita ini tambah keren.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja