Sebuah Permintaan
Onah menatap orang di hadapannya. Ia masih tidak mengerti dengan keadaan yang sedang ia alami. Yang ia tahu, ia tidak melakukan satu kesalahan apapun. Baginya, keadaan seperti ini sangat sulit dicerna akal pikirannya. Onah masih berusaha untuk menanyakan perihal perilaku yang ia dapat dari kekasih hatinya itu. Wajah kuning langsatnya memerah terbakar matahari siang ini. Ia tidak peduli bila matahari terus bertambah panas atau bila tiba-tiba hujan datang bersamaan dengan kawannya si petir atau badai. Ia tidak akan peduli.
“Apa yang kamu minta?”
Rahang Hamid mengeras. Ia tidak biasa berbicara dengan ketus, apa lagi kepada kekasihnya. Ini adalah pertama kalinya ia semarah ini kepada Onah. Dalam hatinya, ia menangis. Ia merasa tidak tega jika sampai membuat Onah bersedih. Tapi ia sendiri tidak tahu apa yang dirasakan Onah saat ini, apakah ia sesedih itu? Dibandingkan dengan Onah, Hamid lebih sering menangis. Tetapi tangisan Hamid bak aliran sungai tenang yang berada di ujung hutan terlarang di desanya, hampir tidak terdengar sama sekali. Hamid selalu menangis dalam hatinya, terkadang dalam doanya atau pada setiap sujud ketika ia menyembah Tuhannya. Hamid tahu, dirinya harus kuat karena ia laki-laki. Tapi tidak ada yang menyalahi apabila Hamid menangis karena ia manusia. Ia masih punya hati yang bisa merasakan hal lain selain jatuh cinta pada Onah.
Onah terlahir dari keluarga yang berada. Ia tidak pernah meminta apa pun dalam hidupnya karena ia merasa segalanya akan datang menghampiri dengan sendirinya. Termasuk cinta. Ia tidak pernah meminta untuk dicintai siapa pun, tapi selalu banyak yang mencintainya. Banyak yang berlomba-lomba untuk meraih hatinya. Tapi yang ia pilih hanyalah Hamid seorang. Hamid hanya pemuda biasa, pemuda sederhana yang setiap harinya pergi bekerja mengantarkan surat ke rumah-rumah yang dilanda rindu sanak saudarnya yang pergi merantau.
Suatu hari ia bertanya pada Hamid, "apa yang kamu dapat setelah menjadi pengantar surat sekian lamanya?" Hamid bilang, “aku bukan hanya mengantarkan surat biasa, aku mengantarkan isi hati manusia. Aku senang melihat orang terlihat bahagia ketika aku datang, meski alasannya berbahagia itu bukan karena kedatanganku semata melainkan karena surat yang kubawa untuknya. Aku seperti mendatangi orang yang sedang menggenggam harapan erat-erat.”
Pada hari dimana ia pertama kali bertemu dengan Hamid, ia sedang menggendong seorang bocah laki-laki, anak tetangganya yang sedang menangis. Saat itu Hamid datang mengantarkan surat untuk Onah dari ayahnya yang bekerja di kota. Bocah itu tidak mau diam, Hamid dengan tanggap menggendong bocah itu dan melempar-tangkap tubuhnya ke udara. Bocah itu tertawa geli sekali. Onah yang masih terkejut karena perlakuan spontan Hamid mengembangkan senyum lebar-lebar.
“Beruntung sekali laki-laki yang menjadi suami dan ayah dari anakmu ini.”
Onah hanya tertawa. Sekali lagi, Onah tidak pernah meminta apa pun dalam hidupnya karena segalanya akan datang dengan sendirinya. Ia tidak pernah meminta Hamid untuk menggendong bocah itu. Ia juga tidak pernah meminta Hamid untuk jatuh cinta dan mencintainya dengan amat sangat tulus. Onah tidak pernah meminta apa pun dari Hamid.
Lima bulan sebelumnya Onah pernah bertanya pada Hamid, “Apa yang dirasakan oleh orang yang jatuh cinta?” Hamid menjawab dengan singkat, “senang, sangat senang.” Hamid tidak pernah berprasangka buruk apa lagi kepada kekasihnya. Ia yakin, kekasihnya itu juga sangat menyayangi dirinya. Ia tidak pernah mendengar kata bosan, tidak pernah bertengkar, dan tidak pernah marah pada Onah. Bahkan ia sempat meyakini bahwa ia tidak akan pernah memiliki alasan untuk mengakhiri hubungan mereka. Keyakinan itu sudah ada sejak lama sekali, hingga akhirnya hatinya mencelos saat melihat Onah sedang bercumbu dengan Anwar, seorang hansip di kampung sebelah pada suatu malam. Hamid ingin teriak, meronta, bahkan mengamuk tapi yang bisa ia lakukan hanya menangis di dalam hati. Hatinya sudah terkoyak. Perempuan yang amat ia cintai telah bermain di belakangnya. Apakah ini maksud dari pertanyaannya lima bulan yang lalu? Ia tidak menyalahkan apabila Onah jatuh cinta dengan laki-laki lain. Hamid tidak ingin membandingkan dirinya dengan Anwar. Hamid tidak ingin menuntut apa-apa dari Onah. Ia tidak pernah merasa bahwa ia salah mencintai orang. Ia hanya menyayangkan mengapa ini terjadi kepada dirinya. Ia ingin luka hatinya cepat sembuh.
Setelah kejadian yang membuat batinnya terguncang, Hamid tidak pernah datang ke rumah Onah lagi. Hamid merasa itu tidak perlu dilanjutkan lagi, tidak ada gunanya. Untuk apa terus menerus mencintai orang yang sudah mencintai orang lain? begitu kira-kira yang ada di pikirannya. Hamid tidak ingin bersedih, maka ia bertekad untuk tidak menemui Onah lagi. Meski begitu, Hamid masih rajin bekerja mengantarkan surat ke rumah orang-orang. Sesekali ia melewati rumah perempuan yang pernah menjadi pujaan hatinya. Tapi ia tidak pernah melihat atau bahkan berniat untuk menemui perempuan itu lagi. Hamid tidak marah atau pun dendam, ia hanya tidak ingin luka hatinya bertambah parah karena ia tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.
Dua bulan setelah kejadian menyedihkan itu,
Onah datang menemui Hamid. Hamid sendiri bingung dari mana Onah mengetahui
alamat rumahnya karena Onah tidak pernah bertanya tentang alamatnya.
Sepenglihatannya, Hamid merasa Onah baik-baik saja. Ia masih tampak cantik,
wajahnya ayu berseri-seri. Tubuhnya masih indah, rambutnya masih hitam,
berkilau dan panjang. Tidak ada yang berubah. Hamid menyambut kedatangan Onah
di depan pagar rumahnya. Matahari sedang terik-teriknya tetapi Hamid tidak
ingin mengajak Onah masuk, ia tidak ingin timbul fitnah karena telah berduaan
di dalam rumah bersama seorang gadis. Ia bertanya perihal maksud kedatangan
Onah siang itu tapi Onah malah diam menatapnya lalu menengadahkan tangan di depan dada.
“Apa yang kamu minta?”
“Aku tidak pernah meminta apa pun di dalam hidupku. Semuanya datang dengan sendirinya termasuk kamu. Maka jika aku punya kesempatan untuk meminta kali ini, aku hanya ingin meminta sesuatu yang sederhana.”
“Apa?”
“Aku hanya ingin meminta maaf padamu dan meminta agar kamu kembali ke dalam pelukanku. Hanya itu.”
Komentar
Posting Komentar