Cerita Tentang Seorang Perempuan yang Patah Hati

Aku masih ingat betul secara detail detik-detik saat kita memutuskan untuk berpisah. Ups, bukan kita, tapi kamu yang ingin berpisah saat itu. Aku tidak pernah melupakan rasa sedih kala itu, rasanya amat sangat menyakitkan dan itu adalah patah hatiku yang paling parah. Mungkin bisa dibilang aku sakit jiwa. Seperti halnya org yg terbiasa berenang di kolam yang airnya hanya setinggi dada dan merasa aman kemudian tiba-tiba dilepas begitu saja di samudera tanpa pernah belajar bagaimana caranya berenang di laut lepas. Aku tidak bisa berenang dan tidak punya tabung oksigen, mungkin aku akan mati sebentar lagi.

Kala itu, aku merasa menjadi manusia paling menyedihkan di muka bumi. Aku terlalu larut dalam kesedihan sampai tidak tahu harus bagaimana melanjutkan hidup secara normal. Aku merasa kewarasanku pergi begitu saja sama seperti dirimu yang juga memutuskan hubungan secara sepihak. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupku. Hari-hariku hanya diisi dengan tangisan, lagu berlirik sedih, dan entah berapa cangkir kopi hitam yang aku habiskan tiap harinya. Aku sudah benar-benar tidak sehat.

Melepasmu pergi dan menerima kenyataan bahwa kamu bukan milikku lagi adalah hal terberat bagiku. Aku menghabiskan waktu lebih dari 2 tahun untuk benar-benar menjadi manusia normal kembali. Tidak seperti patah hatiku yang lain yang bisa sembuh tidak lebih dari sebulan. Mungkin semua itu karena aku sudah amat sangat mencintaimu. Kini saat aku ingat kembali pengalaman patah hati itu, entah kenapa rasanya aku sangat egois sekali. Aku merasa akulah yang paling tersakiti akibat berakhirnya hubungan itu dan kamulah seseorang yang patut disalahkan, kamulah yang harus bertanggung jawab dengan rasa sakit hati yang kuderita. Dan kali ini, setelah genap 3 tahun kita berpisah aku baru penasaran bagaimana perasaanmu kala itu? Mungkin bisa jadi kamu juga merasa sedih? Mungkin kamu juga sama sakit hatinya seperti aku hanya saja kamu tidak bilang padaku.

Aku masih ingat, tepat di hari ke-148 kita bukan lagi sepasang kekasih, kamu mengirim pesan di malam hari pukul delapan. Kamu bertanya bagaimana kabarku? Aku, yang saat itu masih sangat sakit hati, tidak bisa menahan emosi dan membalas pesanmu dengan kata-kata yang mengekspresikan kemarahan dan patah hatiku. Kamu hanya balas dengan singkat, yang membuatku semakin kesal saja, padahal saat itu kamu kebingungan menanggapi namun aku malah beranggapan bahwa kamu hanya sekadar iseng saja dan ingin membuatku semakin sedih dengan menanyakan pertanyaan yang menurutku tanpa kamu tanyakan kamu sudah tau jawabannya. Dua minggu setelahnya kamu kembali menanyakan kabarku. Aku tidak membalas pesanmu karena menurutku tidak perlu tapi saat itu aku menangis. Jahat sekali menanyakan kabar seseorang yang telah kamu sakiti padahal kamu sudah pasti tahu kabarku, pikirku begitu. Kamu masih terus penasaran karena pesanmu tak pernah ada balasan hingga akhirnya kamu meneleponku tiga minggu setelahnya. Butuh waktu yg lama untukku mengangkat telepon darimu. Aku tidak yakin bisa menahan tangisan saat mendengar suaramu, pun tidak siap mendengar kata-kata yang akan keluar dari mulutmu.

"Halo..."

"Ya, ada perlu apa?" 

Spontan, bahkan alam bawah sadarku seperti menolak untuk berhubungan dengan dirimu lagi. Alih-alih menahan air mata, suaraku sepertinya terdengar amat parau sehingga kamu pun sepertinya merasa tidak enak. Aku tidak peduli, aku yang telah tersakiti, aku berhak marah bukan? Tidak seperti percakapan telepon saat kita masih menjadi sepasang kekasih, kali ini tidak ada obrolan yang berarti. Pun kita saling tenggelam dalam diam, kadang terdengar hembusan nafasmu yang seperti orang putus asa namun saat itu tidak kupahami. Aku sudah tidak ingin bicara denganmu. Yang kuinginkan hanyalah kamu meminta maaf atas perbuatanmu dan mengaku bahwa kamu menyesal, menyesal telah berbuat jahat dan tidak memikirkan perasaanku sama sekali. Padahal saat itu aku juga tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanmu. Sungguh egois sekali aku ini. 

"Kamu bukan perempuan yang aku kenal. Perempuan yang mudah tersenyum dan suka melontarkan lelucon kecil di antara percakapan kita. Kenapa kamu tidak sesemangat dulu seperti saat bersamaku? Kamu tahu, kamu itu pemberi energi positif bagi orang-orang disekitarmu lalu lihat sekarang, kenapa kamu amat sangat menyedihkan? Kenapa kamu seperti ini?"

"Karena kamu. Aku bahagia karena kamu lalu kamu pergi. Kamu jahat!" Aku menjawab dengan singkat dan tanpa banyak basa-basi langsung menyalahkanmu. Ya, aku kesal, sangat amat kesal. Aku beranggapan bahwa kamu itu tidak punya rasa bersalah sama sekali. Orang macam apa yang berani-beraninya mematahkan hati seorang gadis lalu malah menanyakan kabarnya dengan santai sekali? Kamu gila, pikirku. Aku tidak sadar kalau aku egois sekali waktu itu. Aku terlalu yakin kalau sakit hatiku adalah mutlak kesalahan dirimu seorang. Tidak ada yang patut disalahkan atas rasa sakit ini selain kamu. Aku tidak pernah memikirkan dirimu sama sekali, memikirkan bagaimana perasaanmu mendengar caci makiku saat aku marah, memikirkan apa yang kamu pikirkan saat kamu memutuskan untuk meninggalkanku. Aku terlalu hanyut dalam rasa sedihku. Rasanya dunia ini sangat tidak adil apalagi saat kutahu dirimu sudah bersama perempuan lain saat kamu meneleponku waktu itu, sedangkan aku masih terus merana dan meratapi nasib yang menyedihkan ini.

Aku mendengar suara hembusan nafasmu berkali-kali lewat telepon. Kamu seperti ingin menjelaskan hanya saja tidak tahu harus menggunakan kalimat seperti apa agar aku langsung mengerti. Lima belas menit berlalu dalam keheningan, aku menitihkan air mata dan menahan isak tangis agar kamu tidak mendengarnya. Kalau kamu tahu aku menangis pasti kamu akan sangat senang karena misimu menghancurkan hatiku benar-benar berhasil.

"Apa kamu tidak pernah bahagia sama sekali saat sebelum bertemu denganku?"

"Pernah."

"Lalu kenapa kamu beranggapan tidak bisa bahagia lagi saat aku pergi?"

"Aku mau kita kembali."

"Aku sudah mencintai orang lain."

"Aku tidak masalah. Aku mau kamu milikku juga."

"Kamu tidak mengerti."

"Iya, memang."

Hening. Aku sudah berusaha untuk mengerti tapi nampaknya usahaku selama dua tahun tidak ada hasilnya, aku tidak akan pernah mengerti karena aku merasa hanya aku sendiri yang sedih atas berakhirnya hubungan ini. Aku tidak pernah berpikir kalau kamu juga bisa jadi sesedih diriku, mungkin kamu juga amat berat memutuskan untuk meninggalkanku. Mungkin kamu juga tidak berpikir bahwa aku akan sesedih itu, kalau kamu tahu mungkin kamu tidak akan seberani itu memutuskanku. Mungkin kamu bisa jadi mencari jalan lain yang lebih tidak menyakitkan baik untukku dan juga untukmu. Karena kali ini aku pun menyadari satu hal, bahwa sikapku yang amat egois ini juga menyiksa pikiranmu. Sikapku yang kekanakkan ini membuatmu pusing dan merasa amat bersalah karena telah membuat seorang gadis tidak bisa tersenyum lagi. Bahwa kamu juga merasa sangat menyesal memilih cara yang salah untuk mengakhiri hubungan itu.

Hari itu terakhir kalinya kamu menghubungiku. Aku tidak tahu apakah kamu sengaja ingin lenyap dari hidupku atau karena kamu ingin aku benar-benar melupakanmu dan hidup bahagia kembali atau mungkin ada alasan lainnya yang tidak pernah terpikirkan. Yang jelas aku sangat bersyukur karena hubungan kita telah berakhir. Kini setelah hampir 4 tahun lamanya, banyak perubahan positif yang terjadi padaku akibat patah hati terburukku itu. Terlepas dari rasa sakitnya yang sulit hilang, putus hubungan denganmu memberiku banyak manfaat juga ternyata. Saat bersamamu, aku merasa aku selalu butuh kamu untuk menasehatiku yang selalu ceroboh dan plin-plan dalam segala hal. Aku merasa aku tidak bisa hidup tanpa seseorang yang tegas sepertimu. Aku merasa aku akan lebih bahagia apabila aku bisa terus bersama dengan orang yang memiliki selera humor dan hobi yang sama. Aku salah dan aku menyesal karena butuh waktu lama sekali untuk menyadarinya.

Berpisah denganmu tanpa kusadari telah membuatku menjadi perempuan yang lebih kuat, perempuan yang mandiri dan bisa dengan tegas membuat keputusan sendiri. Perempuan yang tidak manja, tidak egois dan memikirkan perasaannya sendiri. Perempuan yang bisa mencari banyak cara untuk bahagia. Dan yang terpenting adalah menjadi perempuan yang tidak lagi menyalahkan siapa pun atas satu kejadian yang terjadi pada dirinya dan aku beruntung aku menjadi diriku yang sekarang. Terima kasih karena telah mematahkan hatiku. Terima kasih karena telah membantuku untuk menemukan diriku yang sekarang ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[BOOK REVIEW] Pintu Harmonika Karya Clara Ng & Icha Rahmanti

Patah Hati Tetap Menyakitkan Berapa Pun Usia Kita

[BOOK REVIEW] Alegori Valerie Karya Aya Widjaja