[BOOK REVIEW] Gadis Minimarket (Convenience Store Woman) Karya Sayaka Murata
Menurutku Ketika ada sesuatu yang dianggap aneh, semua orang tanpa sungkan merasa berhak untuk ikut campur dan berusaha mengungkap alasannya. Buatku itu menyusahkan, arogan, dan mengganggu. (hal.59)
Judul: Gadis Minimarket
Penulis: Sayaka Murata
Alih Bahasa: Ninuk Sulistyawati
Editor: Karina Anjani
Editor Supervisi: Siska Yuanita
Ilustrasi Cover: Orkha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2020
ISBN: 9786020644394
Tebal: 160 halaman
BLURB
Dunia menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu "normal" itu seperti apa. Namun di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai "pegawai minimarket". Kini Keiko terancam dipisahkan dari dunia minimarket yang dicintai selama ini.
---
Sebenarnya manusia yang bagaimana sih yang bisa dibilang
normal? Apakah orang normal itu yang berkelakuan dan bertingkah sama dengan
orang-orang pada umumnya? Apakah orang normal itu yang menjalani kehidupan
monoton seperti bersekolah, kuliah, bekerja di perusahaan, menikah, punya anak,
dan menua? Apakah normal itu ada patokannya meski kita sadar bahwa dinamika
hidup tiap orang berbeda bahkan dari cara kita memulai hidup sejak dilahirkan
ke dunia pun kita tidak berada pada garis start yang sama?
Keiko adalah gambaran tokoh fiksi yang merasa tidak ada yang salah di hidupnya tapi orang lain tidak melihatnya demikian sehingga ia terus berusaha menjadi orang yang dapat dilihat oleh orang lain sebagai ‘normal’. Keiko bekerja sebagai pegawai paruh waktu di minimarket sejak masih kuliah hingga usianya tiga puluhan. Baginya, minimarket sudah menjadi bagian dari hidupnya dan dengan berada di sana ia merasa telah menjadi bagian dari masyarakat normal. Tidak ada lagi tatapan aneh yang ia dapatkan di sana, hanya pegawai seperti dirinya yang terlihat normal, bersikap normal dan semua serba berseragam tak hanya baju tetapi juga apa yang dikerjakan. Dari mana pun mereka berasal, apa pun profesi mereka di luar minimarket, mereka semua sama di dalam kotak kaca itu, yaitu ‘pegawai minimarket’.
Membaca cerita Keiko tentu saja membuatku merasa emosional. Aku
cukup paham dan relate dengan pemikirannya karena aku pernah struggling
juga buat membaur sama orang-orang. Aku pernah meniru sikap orang, meniru
cara bicaranya, cara berpakaiannya, juga cara berpikirnya agar aku bisa masuk
menjadi bagian dari mereka, agar aku tidak disisihkan dan dianggap orang yang ‘lain’
hingga pada akhirnya aku menemukan kesimpulan bahwa yang kulakukan selama ini malah
membuatku kehilangan diriku sendiri. Menurutku pada kasus Keiko, ia butuh
orang-orang disekitarnya khususnya orang tua serta adiknya untuk menuntunnya,
memberitahunya dan menjelaskan hal-hal yang Keiko tidak pahami serelevan
mungkin. Aku salut sama orang tuanya yang pernah mencari bantuan dengan
membawanya ke psikolog meski akhirnya kusayangkan hal itu harusnya terus
dilakukan hingga Keiko tidak berpikiran bahwa dirinya sedang ‘sakit’. Aku juga
salut dengan adiknya yang begitu menyayanginya serta peduli dengan memberitahunya bagaimana harus bersikap jika Keiko dihadapi dengan hal-hal yang membuatnya bingung dan merasa
terjebak dalam sebuah situasi.
Aku suka sekali dengan cara penulis bercerita di novel ini. Banyak
detail kecil yang dideskripsikan dengan menarik terutama tentang bunyi-bunyi yang
didengar Keiko di minimarket. Hal-hal kecil ini membuatku merasa ada Keiko yang
hidup di kepalaku dan membuat imajinasiku tentang cerita ini jadi lebih menarik
lagi. Rasanya seperti aku juga bisa dengar bunyi-bunyi itu. Aku juga mau
apresiasi penerjemah dan editornya, terima kasih sudah menerjemahkan buku ini
dan membuat bukunya tidak terasa seperti buku terjemahan. Bahasa yang digunakan
luwes dan mudah dipahami, aku hampir ngga pernah merasa bingung selama membaca
cerita ini. Menurutku ini juga termasuk poin plus yang jarang kutemui di buku
terjemahan meski ini balik lagi ke selera pembaca tapi buku terjemahan yang
tidak terasa kaku dan tetap bisa menyampaikan maksud si penulis menurutku akan memberikan
pengalaman yang menyenangkan bagi pembaca.
Buatku, buku ini hampir sempurna kalau saja ada pembagian
bab di tiap ceritanya. Buku ini berisi kurang dari 200 halaman tapi isinya
padat ditambah ceritanya yang terus berjalan. Meski ada penanda sebagai jeda antar
satu cerita dan cerita selanjutnya tapi aku cukup kebingungan kalau mau menjeda
bacaanku. Aku merasa kalau aku menjeda di satu bagian nanti kalau mau
melanjutkan bacaan lagi takut merasa aneh atau kehilangan vibe di cerita
sebelumnya jadi aku merasa akan lebih mudah kalau aku berhenti di penghabisan
satu bab cerita kalau di novel biasa.
Sebagai penutup, novel ini termasuk ‘worth the hype’
karena benar-benar bagus dan membuatku jadi merenung memikirkan makna-makna
tersirat yang disampaikan di dalam ceritanya.
Komentar
Posting Komentar