TAMI
This writing is dedicated to my lovely nyomi gembret.
Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk bisa dekat dengan seseorang? Sehari? Seminggu? Sebulan? Atau setahun? For us, it took 2 years since he was born to this world. Lahir di atap rumah dari seekor induk cantik yang juga kami cintai, ternyata hidupnya dengan sang induk tak berlangsung lama karena kami harus merelakan kepergian dia yang entah kemana karena kami juga kehilangan jejak. Kalau kamu berpikir memelihara anak kucing itu mudah tapi kenyataannya itu tidak terjadi pada kami. Anak-anak kucing ini, yang usianya saat itu sekita 2 bulan, tidak bisa dekat dengan manusia. They don't trust human at all. Kalo dideketin pasti menghindar seolah-olah kami ini predator yang harus mereka hindari padahal saat itu kami ingin memberi mereka susu. Mereka tidak mau tinggal di rumah kami sampai akhirnya salah satu diantaranya, namanya tabi, mulai sering tidur di teras rumah. Mungkin pandangannya tentang manusia berubah, pikirku. Sejak saat itu kami dengan senang hati memelihara tabi di rumah namun tidak dengan saudaranya karena dia masih tidak suka manusia.
Nama dua bersaudara ini tami dan tabi, adik-adikku yang memberi mereka nama. Setelah dua tahun kami dekat dengan tabi, di tahun ke tiga akhirnya tami mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa 'sepertinya makhluk di rumah ini tidak seburuk itu'. Tepat saat pandemi melanda negeri, tami semakin sering berada di rumah. Kami menyayangi tami sama seperti sayang kami pada tabi. Kami beri makan, kami sediakan tempat tidur, kami ajak bermain meski ia terlihat tidak tertarik diajak bermain. Tami tumbuh dengan baik dan semakin menggemuk. Di masa pandemi yang sangat kami tidak sukai ini, setidaknya ada satu hal yang bisa kami syukuri yaitu bisa dekat dengan tami.
Buatku, tami itu kayak anak-anak yang suka ngambek. Kalo diledekin dia ngambek langsung menjauh dan pasang muka jutek. Kadang juga dia mencakar dan menggigitku tiba2 entah karena gemas atau karena tidak ingin ku ajak main. Tami juga mengerti emosi manusia. Kalau aku atau adikku marah dia langsung diam terkadang memasang muka memelas. Seringkali dia membuat marah mama karena mencakar-cakar tanaman dan membuat teras berantakan karena pot kembang mama ditumpahkannya. Sejak itu, mama jadi makhluk yang paling ia takuti di rumah ini. Namun semarah apapun kami kepadanya, ia tetap kesayangan kami. Ia tetap tempat kami 'healing' dari hingar bingar dan kepusingan dunia ini. Rasanya, dia itu seperti adikku yang paling kecil yang harus disayangi dan selalu diperhatikan.
Biasanya setiap pagi ia menjadi alarm bagi aku, adikku atau nenekku. Ia akan berlari naik tangga dengan semangat, mencakar-cakar gagang kayu tangga paling atas kemudian mengeong di depan kamarku yang ajaibnya suaranya itu lebih ampuh membangunkan aku dibanding alarm hp. Pernah juga dia tidak mengeong tapi langsung naik ke kasur dan menepuk jidatku. Kalau sedang malas, biasanya dia hanya di lantai satu mengeong kepada nenek dan adik-adikku. Meski kami tau dia itu sedang minta sarapan tapi secara tidak langsung aku menganggapnya sebagai rutinitas membangunkan kami. Setelah diberi makan biasanya dia akan tiduran atau duduk dekat kami jadi kami bisa mengelus dia. Tami juga suka nimbrung kalau aku dan adikku sedang berada di kamar ngobrol bersama atau sedang menonton tv. Ia suka menyempil di antara kami seperti ingin diajak. Saat kami duduk di sore atau malam hari, ia bisa tiba-tiba menghampiri dan langsung duduk atau tidur di pangkuan kami. Sepertinya sudah sangat percaya bahwa kami ini makhluk yang harmless kecuali mama karena ia takut mama marah. Tami suka sama makanan gurih. Kalau kami makan ciki atau kerupuk pasti dia menghampiri meski kami tidak berikan ia akan minta dengan mengelus kepalanya ke kaki kami atau naik-naik ke kaki. Karena tingkahnya itu aku semakin yakin bahwa tami itu bukan kucing, mungkin ia manusia di kehidupan sebelumnya.
Tami tidak jago memanjat seperti kucing lain. Pernah suatu hari ia berani naik ke atap dan jalan-jalan ke atap tetangga tapi tidak bisa turun. Kami mencarinya kemana-mana, berpikir bahwa ia bernasib sama dengan ibunya yang hilang entah kemana. Lalu pada malamnya saat hujan turun ia menggedor-gedor pintu lantai 2. Di situ aku menemukannya basah kuyup dan mungkin ketakutan atau marah? Entahlah yang jelas ia tidak berhenti mengeong. Andai aku bisa mengerti apa yang ia bicarakan. Namun setelah aku mengelap dan mengelus-elusnya ia kembali tenang. Pernah juga ia terpeleset di lantai yang licin saat berjalan-jalan di dalam rumah. Tingkahnya yang terlalu bermacam-macam seringkali mengundang gelak tawa kami. Kami juga semakin sering meledeknya 'nyomi gembret' saking perutnya terlihat meluber setiap habis makan.
Tami lumayan sering menemaniku. Kadang ia naik ke lantai 2 dan duduk atau tidur di depan kamarku. Ia juga sering menemaniku di masa-masa kritis seperti saat aku mengerjakan skripsi yang sudah dikejar deadline. Dalam keadaan ingin menangis itu Tami muncul dan menemaniku. Mengelus kepalanya ke kakiku lalu tidur dekatku. Seperti ia ingin memberi tahuku 'hei, jgn panik bodoh ayo kerjakan saja! Aku temani di sini.' Saat aku menangis karena hal lain pun kadang ia menghampiriku. Membuatku meyakini bahwa memang ia punya semacam kekuatan untuk menenangkanku. Kalau ia sedang jalan-jalan di dalam kamarku juga aku sering mrngajaknya ngobrol meski seringkali dicuekin. Aku juga yang paling sering memotretnya di rumah. Sepertinya ia tidak suka kamera karena ia sering terlihat sebal atau bisa tiba-tiba pergi saat aku ingin memotret atau mengambil video dirinya. Mungkin jika dikalkulasikan 80% memori handphoneku terisi oleh foto dan videonya.
Waktu pertama kali aku bisa foto selfie sama Tami, aku merasa senang sekali sampai aku pamerkan di Instagram, twitter dan juga ke sepupuku. Hari itu adalah hari yang dekat dengan ulang tahunku ke-24 dan aku menganggapnya seperti kado ulang tahun. Bahagianya sama seperti saat bertemu penulis kesukaan. Rasanya dunia harus tau bahwa aku berhasil dekat dengan dia si makhluk anti human. Lalu kemarin sehari sebelum ia terlihat tidak baik-baik saja aku juga sempat mengajaknya selfie lalu ia pasang muka bete dan menggigit kepalaku setelahnya. Sedih sekali ternyata itu foto selfie terakhir kita. Tami sudah tidur nyenyak untuk selamanya. Tidak ada lagi si gembret yang suka mencakar-cakar pegangan tangga kayu, atau mengasah cakarnya ke karpet di ruang tengah. Tidak ada lagi alarm kami yang paling imut. Tidak ada lagi perut bulu bergelambir yang biasa kami usap-usap tiap harinya. Tidak ada lagi suara lonceng dari kalungnya yang bunyi tiap dia berjalan atau berlari. Kami kehilangan itu dan akan merindukan itu pastinya. Tidak menyangka bahwa waktunya untuk bersama kami hanya sebentar. Tidak ada ucapan selamat tinggal sebelumnya, hanya aku yang bilang padanya "bobo ya, besok sembuh." Dan ya sekarang dia ngga sakit lagi dan dia benar-benar tidur nyenyak.
Terima kasih Tami atas waktu berharga yang telah kita lalui bersama. Terima kasih karena mau ijinin aku buat dekat sama kamu, main sama kamu, foto sama kamu. Terima kasih sudah mau temenin aku skripsian padahal aku baru mau wisuda tapi kamu malah pergi lebih dulu sebelum aku bisa foto pake toga sambil gendong kamu. Terima kasih atas peninggalannya, cakar-cakaran kamu di tangga kayu itu, yang akan jadi tanda kalau kamu pernah tinggal di sini sama aku. Maaf ya kalau aku ngga bisa jadi kakak yang baik selama kamu hidup. Aku sering bawel bilang 'aku sayang kamu nyomi' pasti kamu sebel ya? Maaf ya sekarang udah ngga lagi hehe aku ngga bisa bawelin kamu tapi kamu harus tau kalo yang aku omongin itu bener. Aku sayang sama kamu mungkin lebih dari pada aku sayang sama diriku sendiri. Aku sedih kamu pergi tapi aku ngga apa-apa dari pada kamu sakit. Aku sedih tapi kamu tau kan butuh waktu buat aku berhenti sedih. Kamu bobo yang nyenyak ya. Jangan nakal di sana! Kalau kamu hidup lagi semoga kamu hidup sama orang-orang yang baik yang sayang kamu. Semoga kita bisa ketemu lagi nanti 👋🏻 Aku sayang banget sama kamu nyomi gembret!
Komentar
Posting Komentar